Dua Kubu Dengan Narasi Terbalik, di tengah Pusaran Konflik Sukahaji

JABAR EKSPRES – Di balik rencana pemanfaatan ulang lahan di Sukahaji, tersimpan perpecahan antar kubu, konflik narasi, hingga amarah yang belum benar-benar surut.

Hal ini diperkuat dengan munculnya pemberitaan soal ketegangan antar warga di salah satu gang di kawasan Kecamatan Babakan Ciparay tersebut, pada Senin (21/4).

Seorang warga setempat yang tidak ingin disebutkan namanya, menjelaskan suasana mendekati kata mencekam. Tidak ada kerumunan, dan tidak dibarengi dengan kehadiran para aparat.

Dirinya bercerita, timbul kesalahpahaman dari pembingkaian media soal warga-warga yang merasa telah dipelintir dalam pemberitaan terkait konflik Sukahaji. Isu ini merebak setelah perseteruan yang mengatasnamakan penduduk lama dan para pendatang terjadi.

“Warga lama sebenarnya sudah ikhlas, sudah menerima keputusan apapun yang akan dilakukan pada lahan itu,” ujarnya kepada awak media, saat dikonfirmasi Rabu (23/4).

Namun, dengan nada lirih dibalut rasa emosional, ia mengungkapkan bahwa perbedaan pandangan datang dari masyarakat yang mengatasnamakan warga pendatang baru di Sukahaji.

BACA JUGA: Insiden Sukahaji, Wali Kota Ingatkan Semua Pihak Hormati Proses Hukum dan Jaga Bandung Kondusif

“Tapi warga pendatang, mereka keras, menolak. Mereka bilang itu hak milik mereka, tidak boleh disentuh,” ucapnya.

Dari yang semula bersifat perbedaan pendapat, konflik ini justru malah semakin merebak luas. Beberapa pihak justru memframing pemberitaan menuduh bahwa warga asli yang dinilai tidak menerima keputusan pemerintah. Bahkan, biangkerok gesekan lusa lalu seolah-olah dilakukan oleh penduduk lama.

“Padahal kenyataannya, kami sudah menerima hampir 90 persen. Cuma karena mereka, pendatang yang lebih vokal, lebih banyak bicara di medsos, narasi kami tertutup, kami yang legowo justru dianggap menolak. Kami yang diam malah dibilang menekan,” ungkapnya.

Dirinya mengungkapkan, kisah ini menjadi refleksi dari bagaimana konflik sosial dapat digiring oleh persepsi yang dibentuk secara masif, bukan oleh fakta lapangan.

“Di era digital, suara yang lebih keras kerap dianggap mewakili kebenaran. Dan dalam kasus ini, warga lama merasa kehilangan ruang untuk menyampaikan kisah versi mereka,” bebernya.

BACA JUGA: Respons Wali Kota Bandung Pasca Penyerangan Ormas Terhadap Warga di Sukahaji

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan