Selalu Kangen Nongkrong dengan Seniman Tanah Air

Konsistensi Farah dan para koleganya di IVAA itu berbuah. Lembaga tersebut sering menjadi jujukan mereka yang hendak mengetahui lebih dalam tentang seni rupa Indonesia.

Tak terkecuali para peneliti dari mancanegara. ”Salah satunya para kurator dari National Gallery (Singapore) yang ketika itu masih dalam proses persiapan. Jadi, saya sudah berhubungan lama dengan mereka,” imbuhnya.

Akhirnya, pada sekitar Oktober 2014, Farah diundang pimpinan National Gallery Singapore untuk bertemu di Singapura. Dia diajak bicara banyak hal bersama Direktur National Gallery Singapore Eugene Tan. Saat itu pulalah ajakan bergabung akhirnya kali pertama disampaikan.

Masa-masa awal setelah menerima tawaran bergabung di National Gallery Singapore adalah periode yang berat bagi Farah. Enam bulan pertama lebih banyak dihabiskan untuk adaptasi. Terutama berkaitan dengan pola kerja.

Maklum, di Singapura yang serbarapi itu, dunia seni rupa juga digarap seperti halnya korporasi. Semuanya formal. Standard operating procedure (SOP) pun diterapkan secara ketat.

Para pelaku dan pekerjanya dituntut harus pula mengakrabi paper work dan sebangsanya ketika sedang mengerjakan proyek seni. ”Stres, sudah pasti. Tapi, banyak pelajaran yang sangat berharga, suatu saat saya ingin bawa pulang (ke Indonesia, Red),” katanya.

Kultur yang ditemui di Singapura itu sangat berbeda dengan yang biasa dia alami dalam pergaulan seni rupa di tanah air. Di sini, dunia seni rupa lebih banyak disentuh dengan pendekatan komunitas.

Sistem kekeluargaan dengan ikatan yang longgar lebih banyak diterapkan ketika mengerjakan proyek-proyek seni. ”Jadi, kalau ada sedikit-sedikit korupsi, umumnya masih bisa ditoleransi lah hahaha,” kata Farah.

Meski demikian, dia menggarisbawahi, model ala Indonesia tersebut tidak sepenuhnya salah. Sebab, ada hal positif yang otomatis muncul. Dengan ikatan yang longgar, karya-karya yang tercipta umumnya akan lebih kreatif. ”Sebab, ada passion-nya. Walau kalau sudah ngomong manajemen mesti ambyar,” tuturnya, kembali tergelak.

Atas dua kontras tersebut, Farah menganggap yang paling ideal adalah mengawinkannya. Bisa lebih terstruktur rapi, tanpa individu di dalamnya menjadi kayak robot. Melainkan tetap punya gairah yang meluap-luap. ”Sampai sekarang saya belum tahu jawabannya. Sedang saya cari terus sambil jalan,” katanya.

Tinggalkan Balasan