Selalu Kangen Nongkrong dengan Seniman Tanah Air

Farah Wardani, Kurator Indonesia yang Berkiprah di National Gallery Singapore

Ilmu, pengetahuan, dan pengalaman Farah Wardani mengantarkannya ke salah satu posisi penting di National Gallery Singapore. Berusaha mengawinkan kultur seni rupa Indonesia dengan Singapura.

DIAN WAHYUDI, Ubud

WANGI kopi yang sedang diseduh lamat-lamat tercium mengisi udara. Dari sudut Sika Gallery tempat aroma itu berasal, sejumlah pelaku seni tengah meriung santai.

Farah Wardani ada di antara mereka pada Minggu petang lalu (6/3) itu. Berbincang hangat tentang berbagai hal. Mulai rencana gelaran sampai rasan-rasan tentang menyeruaknya diskursus soal lukisan palsu. Kendati beberapa kali bising sepeda motor yang melintas di dekat galeri di Ubud, Bali, itu menginterupsi.

”Bisa nongkrong seperti ini ngangenin. Ini yang sulit saya temui dalam dunia seni rupa di Singapura,” tutur Farah. Hari-hari Farah selama setahun terakhir memang lebih banyak dihabiskan di Singapura. Sebab, per 23 Maret 2015 dia resmi tergabung dengan National Gallery Singapore.

Di galeri yang ditopang pemerintah Singapura tersebut, Farah menjabat asisten direktur. Tanggung jawabnya besar Membawahkan resource center department.

Farah harus bekerja dengan 16 kurator resmi yang juga direkrut dari sejumlah negara. Selain dari Singapura, para kurator itu, an­tara lain, berasal dari Australia, Filipina, dan Sri Lanka.

Tugas utama tim tersebut adalah melakukan riset dan pengembangan seputar seni rupa di Asia Tenggara. Galeri Nasional Singapura memang tak hanya mengkhususkan perhatian pada seni rupa lokal. Melainkan telah menancapkan tekad menjadi sentra seni rupa di kawasan Asia Tenggara.

”Bukan sebatas luasan dan jumlah koleksi karya. Tapi, juga berkaitan dengan informasi dan data yang dimiliki,” kata Farah.

Karena itu pula, meski baru diresmikan November tahun lalu, persiapan yang dilakukan sebelum benar-benar berdiri tidak main-main. Selain dukungan dana triliunan rupiah, persiapan intensif telah dilakukan sekitar sepuluh tahun. Selain terkait infrastruktur, berbagai riset telah pula diadakan dalam rentang waktu tersebut.

Kepercayaan besar yang diterima perempuan kelahiran Jakarta, 1 Agustus 1975, itu dari institusi negeri tetangga tersebut tentu tidak datang dengan tiba-tiba. Ada proses panjang yang menyertai.

Tinggalkan Balasan