Selalu Kangen Nongkrong dengan Seniman Tanah Air

Lahir dan tumbuh dari keluarga yang tidak memiliki latar belakang seni atau budaya, Farah justru merasa seni rupa adalah dunianya. Kecenderungan itu makin kuat sejak dia lulus dari pendidikan S-1 jurusan desain grafis Universitas Trisakti, Jakarta, pada 1998.

Dia mulai banyak bersinggungan dengan berbagai komunitas seni. Sampai kemudian pada 2000 mendapat kesempatan beasiswa program master in art history dari Goldsmith College di London, Inggris.

Sepulang dari London, Farah semakin melebur ke dunia seni rupa. Dia sempat aktif di Ruangrupa Art Space, Jakarta, sekaligus mengajar di Universitas Paramadina.

Selain itu, jangkauan pergaulannya meluas. Dia intens bersinggungan dengan berbagai komunitas seni rupa di luar ibu kota. Terutama di Jogjakarta, kota yang memang dikenal sebagai gudangnya seniman.

Bahkan, sempat tebersit keinginan hijrah ke Kota Gudeg itu. Namun, karena pertimbangan kondisi kesehatan ibundanya, Nani Purwani, Farah memutuskan tetap berada di Jakarta. ”Akhirnya bolak-balik saja Jakarta-Jogja, meski ya nggak ngapa-ngapain juga sebenarnya. Nongkrong-nongkrong saja nggak jelas, makannya pun cukup nasi kucing hahaha,” kenangnya.

Saat itu Farah sebenarnya juga sudah mulai dikenal sebagai kurator independen. Sejumlah pameran sempat dikelolanya. ”Masih kurator dalam arti sempit sih, orang yang bikin-bikin pameran (seni rupa) begitu,” kata penulis buku Indonesian Women Artist: The Curtain Opens tersebut.

Hingga pada 2006 dia mendapat kontak dari Yayasan Seni Cemeti (YSC) di Jogjakarta. Farah diminta menyeriusi penyusunan arsip seputar seni rupa Indonesia. ”Awalnya sempat ragu juga meninggalkan Jakarta. Tapi, setelah saya sampaikan ke ibu, ternyata beliau justru mendukung,” ujarnya.

Dari situ, kemudian berdirilah Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Sebuah lembaga yang salah satunya memelopori pengadaan arsip digital pertama seni kotemporer Indonesia. Farah duduk sebagai direktur eksekutif, jabatan yang dipegangnya sampai sekarang.

Di antara sekitar 16 juta item data yang berhasil dikumpulkan, 11 ribu sudah di-online-database-kan. Mulai dokumentasi foto, rekaman audio visual, event seni, portofolio seniman, sampai koleksi video.

”Tiga tahun pertama, susah banget. Tapi, kami di IVAA sudah bertekad bahwa upaya pengarsipan harus jalan karena sangat penting,” lanjut Farah.

Tinggalkan Balasan