JABAR EKSPRES – Hajat Lembur Tegalhareueus bukan sekedar tradisi warisan luhur Desa Mekarlaksana Kabupaten Bandung. Kearifan lokal itu tengah dikembangkan menjadi denyut nadi pariwisata desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Garut tersebut.
10 Oktober 2010 menjadi hari yang sakral dan bersejarah bagi warga desa di Kecamatan Cikancung itu. Karenanya di setiap sekitar 10 Oktober, warga menggelar tradisi Hajat Lembur Tegalhareueus.
Seperti pada Sabtu (11/10/2025). Pagi itu, desa yang biasanya sepi berubah ramai. Warganya berkumpul di sepetak lahan di salah satu sudut desa yang bersebelahan dengan Gunung Mandalawangi itu.
Baca Juga:Yayasan Kasih Palestina Siap Bangun Kembali Masjid Istiqlal Indonesia di GazaBabatuRun 2025: Saat Lari Jadi Bahasa Kebaikan di Kota Bandung
Mereka menikmati rangkaian hajat tahunan tersebut. Di tempat itu ada panggung sederhana yang menjadi pusat kegiatan dengan berlatar belakang bukit dan sawah yang menawan. Alunan musik tradisional sunda menambah sejuk suasana pagi itu.
Di depan panggung, tersaji dua tumpeng raksasa yang dibuat dari aneka hasil bumi. Seperti terong, daun bawang, singkong, pepaya, tomat, kacang panjang, buncis, hingga jagung. Kemudian ada juga sekitar 5 wadah yang berisi olahan hasil bumi. Mulai dari kacang rebus, ubi rebus, jagung rebus hingga talas rebus.
Rangkaian Hajat Lembur dimulai dengan kirab budaya. Yakni warga berjalan dari gerbang desa menuju loksi panggung utama. Mereka membawa aneka makanan olahan hasil bumi.
Kemudian warga berkumpul di area panggung. Mereka lalu menggelar tawasulan, memanjatkan doa kepada Tuhan. Setelah itu, warga makan bersama dari berbagai bekal yang dibawa. Ada tumpeng nasi kuning, ayam bakar, aneka olahan sayur, maupun olahan tempe dan tahu. Nampak rukun sembari makan bersama dengan duduk bersila.
Selepas itu, panggung diisi dengan berbagai hiburan. Mulai dari tari jaipong, hingga pertunjukan gamelan.
Ketua Pengelola Desa Wisata Desa Mekarlaksana Gunawan menceritakan, hajat lembur ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak 2010 lalu. “Bisa dibilang tradisi desa juga,” katanya kepada Jabar Ekspres, Sabtu (11/10).
Gunawan menuturkan, tradisi itu berkaitan dengan kepemilihan sertifikat lahan. Sebelum 2010, hampir semua warga desa tidak memiliki sertifikat tanah. “Dulu itu warga bayar pajak, tapi tidak punya sertifikat,” katanya.
