JABAR EKSPRES – Lonjakan tekanan emosional pada anak dan remaja saat ini menjadi perhatian serius, fenomena meningkatnya kasus percobaan bunuh diri hingga krisis identitas emosional disebut berkaitan erat dengan dominasi dunia maya dalam kehidupan sehari-hari generasi muda.
Data terkini menunjukkan, hingga April 2025, tercatat 27 kasus kekerasan terhadap anak di Cimahi. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2024 dengan 52 kasus dan 2023 sebanyak 63 kasus.
Psikolog Klinis dari P2TP2A Kota Cimahi, Yukie Agustia Kusmala, menjelaskan pergeseran pola interaksi sosial akibat kemajuan teknologi menjadi salah satu pemicu memburuknya kondisi psikologis anak-anak.
Yukie menyoroti fenomena brain rot atau penurunan kemampuan berpikir akibat paparan konten dangkal dan instan di media sosial.
BACA JUGA: Pungli di Sekolah Cimahi? Disdik Ancam Sanksi Tegas!
Menurutnya, kondisi ini membuat anak-anak kesulitan berpikir kritis dan menganalisis informasi secara mendalam.
“Konten-konten singkat dan ringan ini membuat mereka kesulitan saat harus berpikir kritis, menganalisis masalah, atau mengikuti pembicaraan yang panjang dan serius misalnya dalam konteks akademik atau pekerjaan,” kata Yukie saat ditemui Jabar Ekspres, Selasa (6/5/25).
“Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan dan tidak muncul begitu saja. Biasanya berawal dari konflik internal dan eksternal yang tidak tertangani dengan baik,” kata Yukie.
Menurut Yukie, anak-anak saat ini lebih banyak membangun relasi di dunia digital melalui media sosial atau gim daring, relasi sosial yang seharusnya terjadi secara fisik bergeser menjadi virtual.
“Teman-teman mereka ada di dunia digital, bukan di sekitar mereka secara fisik. Akibatnya, saat harus berinteraksi di dunia nyata misalnya dengan keluarga, guru, atau teman sekolah mereka mengalami kesulitan komunikasi dan keterampilan sosial,” ungkapnya.
BACA JUGA: DP3AP2KB Kota Cimahi Sebut Banyak Korban Kekerasan Seksual Enggan Melapor, Keamanan Tidak Terjamin?
Yukie mengungkapkan, bahasa komunikasi di dunia maya berbeda dengan dunia nyata. Komunikasi digital cenderung serba singkat, cepat, dan visual.
Padahal, sambungnya, dalam kehidupan nyata dibutuhkan keterampilan mendengarkan aktif, empati, menyampaikan pendapat secara jelas, hingga kemampuan menyelesaikan konflik.
“Ketika tuntutan ini datang, banyak anak merasa gagal, canggung, atau tidak siap. Inilah yang menjadi salah satu penyebab awal dari stres dan keputusasaan,” ujar Yukie.