Partai Amplop

Yang satu anggota kabinet presiden. Satunya lagi dewan pertimbangan presiden. Sama-sama bagian dari pemerintah. Sama-sama pengusaha. Sama-sama kaya.

Restu –bukan nama bus antarkota– kelihatannya masih penting di zaman ini. Restu itu pula yang dimainkan agar Muskernas bisa dilaksanakan. “Saya juga mendengar Muskernas itu dilakukan dengan cara menyebar isu sudah mendapat restu,” ujar Suharso. “Kita lihat saja siapa yang benar,” katanya.

Masih seru ternyata.

Suharso pun siap berjuang sampai ke arena hukum. “Saya sudah tunjuk Pak Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum,” kata Suharso.

Suharso pun melakukan klarifikasi soal amplop kiai yang ia ucapkan. Yang kemudian diviralkan. Heboh. Yang membuat ia dianggap menghina kiai.

KPK memang sering mengadakan acara pembekalan anti korupsi. Suharso sendiri salah satu ketua gugus tugas pemberantasan korupsi. KPK bertanya padanya pihak mana yang diutamakan untuk program pembekalan itu.

“Partai politik,” jawab Suharso. Dasar pertimbangannya: presiden itu disiapkan dan dipilih oleh partai. Para anggota DPR disiapkan oleh partai. “Partai-partai harus benar dulu,” katanya.

Karena itu KPK mengundang para pengurus partai. Secara bergelombang. Giliran gelombang PPP, Suharso ikut hadir. “Baru saya ketua umum partai yang ikut hadir di forum KPK seperti itu,” kata Suharso.

Tiga pembicara tampil: ketua KPK, wakil ketua bidang pendidikan dan pencegahan, dan ketua umum partai.

“Ucapan saya itu sebenarnya untuk merespons pidato wakil ketua KPK Kiai Nurul Gufron,” ujar Suharso. “Saya memang memanggil beliau kiai. Beliau itu anak kiai terkemuka dari Sumenep,” tambahnya.

Gufronlah, kata Suharso, yang membakar semangat pengurus PPP untuk jangan menuhankan uang. “Yang percaya kekuasaan uang berarti tidak percaya kekuasaan Allah,” ujar Gufron seperti ditirukan Suharso.

Gufron pun menceritakan ayahnya begitu konsisten di PPP. Sampai beliau meninggal. Tanpa pernah tergoda rayuan uang dari mana pun.

Sebagai pembicara terakhir Suharso menyinggung soal kebiasaan amplop untuk kiai. “Saya tidak pernah mempersoalkannya. I know that. Itu namanya bisyarah. Saya tidak persoalkan itu,” katanya.

Yang penting, katanya, jangan sampai berubah menjadi keharusan. Ia pun menceritakan pengalamannya ke satu pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut sudah sangat maju. Tidak kekurangan apa pun. Ia merasa tidak perlu meninggalkan amplop di situ. Ternyata ia dibisiki seseorang di situ: kok tidak meninggalkan sesuatu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan