Dewan Sesalkan Dana Pinjaman PEN Berantakan, Begini Penjelasannya

BANDUNG – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menyoroti realisasi penggunaan dana pinjaman (PEN) dari Pemerintah Pusat melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jabar.

Diketahui sebelumnya, pinjaman dana PEN itu diperuntukan  pembangunan infrastruktur fisik. Yakni, tujuh jenis kegiatan infrastruktur yang memiliki daya dorong ekonomi.

Dengan rincian, infrastruktur jalan dengan nilai Rp 463,558 miliar; infrastruktur pengairan Rp 27,96 miliar; infrastruktur perumahan Rp 200,55 miliar; infrastruktur perkotaan ruang terbuka publik Rp 63,692 miliar; infrastruktur perkotaan bangunan publik Rp 25,598 miliar; infrastruktur sosial pariwisata Rp 15 miliar; dan infrastruktur sosial kesehatan Rp1,016 triliun.

Anggota Komisi IV sekaligus Badan Anggaran (Bangar) DPRD Provinsi Jabar Daddy Rohanady menyesalkan soal Pemda Jabar lelet dalam melelangkan tender infrastruktur yang berasal dari PEN.

“Hal-hal semacam ini sangat disesalkan. Kenapa? Karena utang PEN di tetapkan waktu 2020 lalu dengan asumsi angka yang ditetapkannya tidak boleh disentuh oleh dewan,” ucap Daddy saat dihubungi Jabar Ekspres, Rabu (22/9).

“Asumsi saya, ketika merencanakan itu (eksekutif) sudah dengan persiapan matang. Ternyata hari ini berantakan. Judulnya PEN berantakan,” imbuhnya.

Politisi Gerindra itu menjelaskan, terkait tender sangat berkaitan dengan penggunaan dana PEN. Pinjamin ini (PEN) utang yang biaya administrasinya sudah di bayar didepan sebesar 0,18 persen.

“Jadi jangan sampai terjadi seperti APBD perubahan tahun 2020 lalu. Dari Rp 1,8 triliun terealisasi Rp 1,5 triliun. Besok pun ada potensi semacam itu,” jelasnya.

Ia pun menyebutkan, dari alokasi anggaran Rp 110 miliar untuk Sangkuriang di Cimahi. “Hari gini belum ada apa-apa tidak mungkin terlaksana. Karena lelang saja 45 hari, mungkin sudah habis waktunya,” sebutnya.

Kedua, lanjut dia, ada juga di mitra komisi IV yang tadinya alokasi Rp 4 miliar namun pihak eksekutif hanya sanggup dengan waktu terbatas.

“Paling 700 jutaan. Itu artinya ada sisa Rp 3,3 miliar.  Ada lagi pekerjaan yang senilai Rp 10 miliar, tidak mungkin terealisasi,” lanjutnya.

Ia pun menilai, hal-hal seperti itu sangat disesalkan. Persiapanya tidak seelok yang semestinya. Padahal dari sisi regulasi eksekutif berhak lelangkan ketika sudah ketok palu APBD.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan