Pengamat: Aksi Pembangkangan ASN terhadap Prokes Coreng Wajah Pemkot

DEPOK – Tindakan pembangkangan yang dilakukan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga menjabat Lurah Mampang, Kecamatan Pancoran Mas atas protokol kesehatan (protkes) Covid-19 bak menampar wajah Pemerintah Kota (Pemkot) Depok.

Demikian disampaikan pengamat kebijakan publik Kota Depok, Mohammad Saihu mengomentari sikap oknum ASN yang tidak menggubris aturan baru mengenai pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang mulai diberlakukan sejak 3 Juni 2021 kemarin.

“Peristiwa pesta pernikahan putri di awal pelaksanaan PPKM seperti memberi tamparan keras kepada Pemkot Depok. Miris, malu dan memprihatinkan,” ujar Mohammad Saihu kepada Jabar Ekspres, Senin (5/7).

Menurutnya, aksi konyol yang dilakukan sang lurah itu justru jadi bumerang bagi Pemkot Depok dalam hal penanganan Covid-19 di Kota Petir itu yang sejauh ini justru jadi pertanyaan (keraguan) banyak pihak.

“Di tengah semrawutnya tata penanganan Covid-19 di Depok, ditambah adanya insiden memalukan yang turut mencoreng kinerja Pemkot menjadi semacam akumulasi problem yang membut citra penanganan pandemi Covid-19 di Depok semakin buruk,” papar Saihu.

Hal itu, lanjut Direktur Eksekutif Reide Indonesia itu membuat perpsepsi publik tentang Kota Depok sebagi kota yang tidak kondusif dan rawan dalam hal penyebaran kasus Covid-19.

“Jangan sampai peristiwa yang telah menjadi isu nasional ini jadi preseden buruk bagi tata pemerintahan, di mana hal itu kian menegaskan bukti tentang pembangkangan oknum ASN terhadap kepala daerah,” ujarnya.

“Jangan sampai setitik noda ini merusak citra pemerintah kota depok,” tambahnya.

Pihaknya meminta kepada aparat penegak hukum agar menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oknum ASN tersebut.

“Sejauh ini, belum diketahui sanksi yang dijatuhkan. Kita menunggu keterangan dan ketegasan Pemkot Depok.

Ia menegaskan, hukum harus ditegakkan bahkan dalam kondisi apapun. Ia lantas mengutip pendapat ahli hukum berkebangsaan Jerman, Rudolf von Jhering yang menyebut, law without force is an empty name atay hukum tanpa kekuatan/kekerasan itu omong kosong.

“Pemberlakuan hukum dengan kuat/keras memang debatable, beraroma pembalasan (retributive justice). Namun hukum yang keras/tegas tidak harus selalu berupa kekerasan fisik sampai pada pemenjaraan. Sanksi bisa bersifat nonfisik, psikologis, sosial, teologis, kuktural, dan struktural,” bebernya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan