Hidup Bersama Autisme

Secara psikologis, autisme digolongkan sebagai gangguan perkembangan yang menyebabkan masalah berat pada kemampuan kognitif, berempati, menemukan hubungan, dan melaksanakan tugas yang kompleks.

Secara neurologis, autisme adalah kondisi abnormalitas pada otak yang amat kompleks. Sedangkan berdasarkan simtom-simtom yang tampak, autisme ditandai oleh tiga gangguan utama yaitu pada interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi.

Terakhir, dari sudut pandang integrasi sensorik, autisme ditandai oleh masalah integrasi sensorik yang berat serta amat kompleks.

Oleh karena itu sangat dimengerti bila para individu penyandang autisme merasakannya sebagai sebuah dunia yang dihayati secara subyektif yang menjadikannya merasa sendirian/kesepian (Air of Aloness).

Ikhtiar Hidup Bersama Autisme

Saat ini dikenal istilah Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA) yaitu sebutan sehubungan dengan kondisi anak-anak autis yang unik dan masing-masing memiliki simpton-simpton dalam jumlah dan kualitas yang berbeda sehingga menjadi suatu spectrum yang luas.

Oleh sebab itu membutuhkan penanganan dini yang holistic dan intensif baik oleh orangtua, guru, pengasuh maupun para professional lainnya khususnya dalam mengantarkan anak-anak GSA untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan mempelajari berbagai kemampuan kognitif.

Dalam konteks yang demikian harus dihindari upaya penanganan yang lebih menekankan pada defisit dari anak-anak GSA sebagaimana sering terjadi saat ini yang berusaha mengarahkannya untuk menjadi seperti anak-anak normal, karena hal ini akan memberikan dampak psikologis yang negatif.

Akan timbul perasaan tidak diterima sebagaimana adanya yang pada akhirnya memunculkan perasaan tertekan, mudah frustrasi, memiliki konsep diri yang negatif, dan semakin sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya seperti cerita anak autis di Singapura itu.

Fakta penanganan demikian yang saat ini cenderung masih bertahan dan dilakukan oleh berbagai pihak yang menyebabkan anak-anak penyandang autis ini semakin terus termarjinalkan harus segera diubah.

Ada baiknya dicoba bahwa perubahan sejatinya harus dimulai dari tidak digunakannya istilah “normal” dan “abnormal”.

Pendekatan dengan ungkapan “be yourself” (jadilah dirimu sendiri) bagi anak-anak penyandang autis mungkin lebih mengena agar mereka terhindar dari stigma “abnormal”.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan