Dia tidak pernah masuk SD atau SMP. Tidak juga SMA. Umur 17 tahun baru merasakan bangku sekolah. Tapi langsung bangku kuliah. Sempat terputus-putus. Tidak kuat bayar uang kuliah. Dan uang pondokan.
Orang tuanya tidak mau membiayai. Dikira umurnya sudah 18 tahun. Dosennya menawari bantuan uang. Sang dosen sungguh menyayangkan kalau dia putus kuliah. Dia tidak mau menerima bantuan. Dia pilih putus kuliah. Bekerja sebagai pelayan toko. Untuk cari biaya kuliah. Merangkap pembantu rumah tangga. Lalu kuliah lagi. Putus lagi. Kuliah lagi. Akhirnya dia lulus S1. Dengan nilai terbaik di universitasnya. Dua tahun kemudian meraih gelar doktor. Di universitas terbaik dunia.
Nama gadis ini Tara. Lengkapnya: Tara Westover.
Ayahnya sangat ‘Amerika’ dan ‘sangat fanatik’.
Tara tidak boleh sekolah. Sekolah itu hanya alat cuci otak pemerintah.
Kalau Tara sakit tidak boleh ke dokter. Dokter itu setan. Hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan orang sakit. Lantaran sakit itu bagian dari rencana Tuhan.
Pak Westover punya anak tujuh. Tara adalah anak bungsu. Setiap hari makan malam harus bersama. Sehabis makan malam Pak Westover melakukan pengajian. Semua anaknya harus ikut. Pak Westover membuka Al Kitab. Membacakan ayat-ayat yang ada di dalamnya. Sampai dua jam.
Itu belum cukup. Setelah itu Pak Westover masih mendoktrin anak-anaknya. Tentang sorga. Tentang dosa. Tentang neraka.
Bercelana pendek adalah dosa: memperlihatkan kaki dan paha. Pakai make up juga dosa.
Anak-anak itu harus sekolah dari kehidupan. Harus mandiri. Tidak boleh menerima bantuan dari siapa pun. Termasuk dari pemerintah. Menerima bantuan itu seperti menjual kemerdekaan.
Sekeluarga harus kerja keras. Anak laki-laki harus bekerja pada ayahnya. Di ladang yang luas. Begitu bekerja ayahnya memberikan gaji. Sebaliknya orang tua juga tidak mau lagi memikirkan biaya hidup anaknya.
Sang ibu menjadi dukun bayi. Di kota kecil itu semua sama: melahirkan dibantu midwife. Dukun bayi. Tidak ada yang melahirkan di rumah sakit. Lahir dan mati adalah urusan Tuhan.
Kita ini seperti membicarakan keadaan zaman dulu di negara terbelakang. Padahal yang saya tulis ini kejadian sudah tahun 2000-an. Sudah masa kini. Yang di Indonesia pun kita sudah mengenal wifi.