Jangan Berharap Keajaiban, Tapi Ciptakan Sistem

Persoalan kemiskinan tidak pernah selesai dikupas. Selalu ada meski pemerintah tidak pernah berhenti berupaya dengan berbagai subsidi. Lantas bagaimana cara Wali Kota Bandung Ridwan Kamil untuk mengetaskan kemiskinan?

Eriek Taopik, Bandung

HINGGA saat ini, masyarakat miskin kota atau pun di daerah masih menggurita. Ketimpangan pendapatan menjadi acuan hingga menyebabkan perdebatan alot sejumlah dari para pemangku kebijakan.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang secara khusus melakukan pertemuan dengan jajaran pimpinan serta direksi Jabar Ekspres mengaku, persoalan ketimpangan itu dibahas secara menyuluruh saat rapat koordinasi pemerintah daerah bersama Bank Indonesia, belum lama ini di Bandung.

Dalam rapat tersebut, Kementerian Pertanian mengeluh, karena perindustrian terlalu masif. Imbasnya, lahan pesawahan kian menyusut dan peluang kerja untuk petani makin kecil.

Sebaliknya, Kementerian Perindustrian tentu tidak mau disalahkan. Sebab, maju atau tidaknya sebuah daerah diukur dari maju tidaknya industri dan banyaknya lapangan pekerjaan.

Lantas bagaimana Ridwan Kamil menyikapi hal itu? Menurut dia, hal yang penting dilakukan adalah membuat inovasi. Sebab, inovasi saat ini menjadi sebuah keharusan untuk bersaing secara ekonomi.

”Jelas inovasi ini sendiri tidak bisa hanya dituangkan di Kota Bandung saja. Harus bisa diduplikasi ke daerah lain,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil itu di Pendopo Kota Bandung, kemarin (28/9).

Dia mengambil contoh peci. Kebutuhan akan peci itu sendiri cukup besar, namun dikemudian hanya diakomodir sejumlah pengusaha. Berarti yang kaya hanya pengusaha.

Lalu bagaimana memberdayakan masyarakatnya? Pria yang ketahui memiliki banyak inovasi itu lantas menjabarkan empat program.

Pertama, meng-online-kan pertanian. Bagi dia, hal yang berkaitan dengan online sudah tidak bisa dicegah. Masyarakat bertransaksi dengan mudah, hanya dengan mengklik via handphone tanpa tatap muka.

Nah, dengan cara online ini, petani pun lebih diuntungkan. Sebab, jerit payah mereka tidak disembelih oleh tengkulak. Sebagai contoh, jika selama ini dari petani harga Rp 100 rupiah, lantas oleh tengkulak dijual Rp 1.000, maka dengan sistem online, padi mungkin bisa dijual dengan harga Rp 700 rupiah. Rp 400 untuk petani dan Rp 300 untuk pengelolaan dan pemasaran via online,” tuturnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan