Kisruh Dago Elos, Tak Ada Pembelaan Pemkot Bandung

Raut kekecewaan tumpah-ruah di jalanan, masyarakat Dago Elos melayangkan protes dengan memblokade jalan buntut dari sikap yang diambil oleh pihak kepolisian.

Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat, menambah chaos suasana yang terjadi disekitaran wilayah konflik tersebut.

BACA JUGA: Mencekam! Aparat Diminta Hormati Hak Warga Dago Elos Bandung

Atas hal ini, pemkot Bandung selaku pemegang kuasa kewilayahan, hanya melakukan penghimbauan agar masyarakat senantiasa ditemani oleh pihak yang berkompetensi di bidangnya selagi memperjuangkan hak-haknya. “Jika perlu, warga selalu didampingi kuasa hukum. Sehingga bisa memberikan pendampingan sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku,” ungkapnya.

Selain itu, adanya indikasi penolakan pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat Dago Elos kepada Polrestabes Bandung, pemkot lebih memilih untuk mengikuti regulasi dan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. “Pada prinsipnya kita tunduk dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya.

Selain itu, Ema mengajak agar masyarakat senantiasa menjaga ketertiban umum dan fasilitas publik, agar terciptnya ketentraman di wilayah Kota Bandung. “Kami mengajak seluruh warga masyarakat serta elemen masyarakat jangan sampai pula terjadi tindakan yang merusak fasilitas publik,” pungkasnya.

Permasalahan sengketa lahan di Dago Elos, Kota Bandung sebetulnya sudah dua tahun lalu selesai. Tahun 2020, lewat putusan di pengadilan tingkat kasasi dengan Nomor 934.K/Pdt/2019.

Warga Dago Elos dinyatakan menang gugatan klaim lahan, dari mereka yang mengaku ahli waris keluarga George Hendrik Muller dan PT Dago Inti Graha.

Hakim Makhamah Agung (MA) pada saat itu, mempertimbangkan bahwa klaim penggugat dengan dalih eigendom verponding, telah berakhir masa klaimnya. Lantaran paling lambat, lahan tersebut paling lambat dikonversi tanggal 24 September 1980.

 

Gugatan Sejak 2016

 

Lantas gugatan dari ketiga orang yang mengaku keturunan Muller, yaitu Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller. Ditolak. Lahan seluas 6,3 hektar yang hendak diklaim lewat eigendom verponding atau hak milik atas dasar produk hukum pertanahan kolonial Belanda ini, gagal mereka caplok.

Perayaan pun muncul. Warga yang telah menjalani persidangan sedari awal gugatan rentang tahun 2016 hingga 2020, lalu bersuka cita. Seorang warga, Taufik, (40), sampai-sampai berseloroh.

Tinggalkan Balasan