“Ya sudah. Saya harus mundur. Saya ini kan sering ceramah tentang Pancasila, NKRI, UUD 45, dan kebangsaan. Kan memalukan. Tidak hafal Pancasila,” katanya.
Sebenarnya saya sendiri tidak setuju Anang mengundurkan diri. Tapi karena Anang ingin konsisten dengan sikapnya itu saya pun berubah jadi bangga padanya. “Saya ini kader NU, kader PKB, Ketua DPRD. Saya harus menjaga nama baik semua itu. Tidak hafal Pancasila adalah memalukan,” katanya.
Sebenarnya tidak hanya Anang yang tidak hafal. Pengucapan para wakil ketua juga salah. “Hanya wakil ketua yang dari PDI-Perjuangan yang hafal sempurna,” ujar Anang.
PKB mendapat jatah ketua karena memiliki kursi terbanyak: 10 kursi. Dari 50 kursi DPRD Lumajang. PDI-Perjuangan, juara dua, punya 9 kursi.
Anang baru sekali ini menjadi anggota DPRD. Apakah ia mendapat suara terbanyak sehingga bisa menjadi ketua DPRD?
“Tidak. Perolehan suara saya hanya lumayan. Saya jadi ketua karena saya ini Ketua PKB Lumajang,” katanya.
Anang bukan baru kali ini menerima pendemo. “Semua demo saya terima. Saya dengarkan aspirasi mereka. Saya ajak masuk ruang sidang. Biar mereka juga tahu dalaman DPRD itu seperti apa,” katanya.
Apakah Anda mencurigai pendemo HMI itu sengaja ingin menjatuhkan Anda karena Anda PKB?
“Sama sekali tidak. Meski NU saya itu dekat dengan HMI dan Muhammadiyah,” katanya. “Saya sering diundang HMI. Dan saya selalu datang,” tambahnya.
Lantas apa motif mereka?
“Biasa saja. Demo ya begitu. Mereka kan tahu pejabat publik biasanya tidak hafal Pancasila,” ujar Anang. “Kali ini saya yang kena,” ujarnya enteng.
Anang tahu itu karena ia sendiri tukang demo. Di masa mudanya. Ia adalah aktivis Famred. Itulah kelompok demo yang terkenal di masa reformasi 1998. Di Jakarta. Famred singkatan dari Forum Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi.
Famred adalah kelompok penting yang melahirkan reformasi, jatuhnya Pak Harto dan berakhirnya Orde Baru.
Waktu itu Anang berstatus mahasiswa universitas swasta di Jalan Kramat Raya. Setelah reformasi ia pindah ke Yogyakarta. Ingin melanjutkan kuliah. Tidak berhasil. Ayahnya, pegawai rendahan di KUA di Senduro, Lumajang, meninggal. Anang harus bisa hidup sendiri. Ia memutuskan untuk menjadi tukang cukur. Di pinggir jalan. Ia memang pandai mencukur. Dulu. Ketika menjadi santri di pondok pesantren Nurul Jadid, Kraksaan, Probolinggo.