Dulu Diburu, Kini Nelayan Menjaganya Mati – matian

Populasi kima yang terus susut di perairan Pulau Labengki, Konawe, menggerakkan Habib Nadjar Buduha, warga Desa Toli-Toli, Konawe, Sulawesi Tenggara. Dia mendirikan konservasi taman laut secara swadaya untuk menyelamatkan kehidupan biota laut jenis kerang itu.

 AGUS DWI PRASETYO, Konawe

HABIB menghirup napas dalam-dalam sebelum nyemplung ke laut. Gerakannya terlihat lincah. Dalam sekejap, tubuhnya sudah tidak terlihat, angslup di dasar perairan sedalam 3 meter tersebut.

Untuk menyelam cukup lama itu, dia tidak membawa tabung oksigen untuk membantu pernapasannya. Dia hanya memakai snorkel di bagian mulut dan hidung agar tidak kemasukan air. Tentu saja, itu sulit dilakukan penyelam biasa.

Beberapa menit kemudian, Habib muncul di permukaan air. Napasnya tampak ngos-ngosan tidak beraturan. ”Arusnya (di bawah laut) lumayan deras. Jadi, harus hati-hati,” ujarnya sambil membetulkan posisi snorkel yang menutupi wajahnya.

Sabtu siang itu (31/12), Habib turun ke laut untuk mengecek beberapa ekor kima yang hidup di terumbu karang di pinggiran perairan Pulau Labengki, Konawe. Spesies laut tersebut baru saja diambilnya dari laut lepas untuk dikonservasi. Kegiatan itulah yang dalam tujuh tahun terakhir dijalani Habib.

Kawasan yang berada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pulau Labengki itu merupakan satu di antara dua lokasi konservasi taman laut kima yang didirikannya. Satu lagi berada di Toli-Toli. Jarak dua lokasi itu sekitar satu setengah jam perjalanan laut dengan menggunakan kapal motor.

Habib tidak sendiri. Dia bersama delapan warga sekampungnya mengelola balai konservasi secara mandiri sejak Oktober 2009. Mereka sudah menempatkan 8.400 ekor kima di perairan Desa Toli-Toli dan Labengki.

Jumlah tersebut meliputi tujuh spesies kima yang ada di Asia. Yakni, kima raksasa (tridacna gigas), kima air (derasa), kima sisik (squamosa), kima besar (maxima), kima lubang (crocea), kima pasir (hippopus), dan kima cina (porcelanus). Ada dua spesies kima lagi yang sampai saat ini belum memiliki nama ilmiah alias masih baru.

Kegiatan para aktivis lingkungan itu berawal dari rasa prihatin terhadap populasi kima di perairan Toli-Toli yang setiap tahun terus berkurang. Bahkan bisa dibilang hampir punah. Kondisi itu terjadi seiring rusaknya terumbu karang di perairan yang berjarak 30 kilometer dari Kota Kendari tersebut.

Tinggalkan Balasan