Penggantian Lahan Belum Jelas, HST Masih Ditolak

bandungekspres.co.id, BANDUNG – Penolakan terhadap proyek kereta cepat (high speed train, HST) rute Jakarta-Bandung terus mengalir. Kemarin (20/4), penolakan muncul dari elemen masyarakat, mahasiswa, tokoh Sunda, pemerhati lingkungan,yang bergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Tolak Perampasan Ruang Jawa Barat (JMSTPRJ).

Mereka menolak perampasan ruang Jawa Barat, yang diperuntukkan proyek pembangunan infrastruktur Kereta Cepat Jakarta – Bandung.

Direktur Walhi Dadan Ramdan menegaskan, investasi dan megaproyek kereta cepat tersebut, bukanlah untuk mengatasi masalah transportasi Jakarta – Bandung. Justru motif proyek ini, mendorong perluasan investasi properti dan industri di kedua megapolitan itu.

”Proyek ini jelas bukan untuk kepentingan rakyat, namun kepentingan para pemodal properti dan industri,” kata Dadan saat preskon penolakan proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) di kampus ITB Bandung kemarin (20/4).

”Proyek ini jelas merampas ruang hidup rakyat di wilayah Jawat Barat,’’ tambahnya.

Dadan mengungkapkan, pihaknya mempertanyakan akuntabilitas proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebab, beberapa fakta di lapangan menunjukkan sejumlah kejanggalan yang belum diluruskan oleh pemerintah. Termasuk penyesuaian dan revisi tata ruang di level kabupaten/kota yang dilalui jalur seharusnya melibatkan DPRD belum seluruhnya berjalan.

’’Revisi untuk penyesuaian RTRW untuk mengakomodasi proyek baru kereta cepat, merupakan bentuk pemaksaan dan preseden buruk bagi pelaksanaan RTRW yang sudah dibuat dari daerah,’’ ungkapnya.

Menurutnya, selain izin pembangunan yang belum selesai, ungkapnya, dalam dokumen amdal final belum ada surat mengenai izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berdasarkan PP No 10 Tahun 2010 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Selain itu, Permenhut No 32 Tahun 2010 jo Permenhut No 41 Tahun 2012 tentang tukar menukar kawasan hutan karena ada kawasan hutan produksi yang dipakai seluas 279,2 hektar di RPH Wanakerta, RPH Kutapohaci, dan kawasan lainnya.

”Berdasarkan aturan undang-undang kehutanan, lahan pengganti hutan harus minimal dua kali lipat dari luas lahan hutan yang dipakai di DAS yang sama,” paparnya.

’’Ternyata surat rekomendasi dari gubernur dan bupati belum ada dalam dokumen Amdal. Selain itu juga belum jelas, lokasi lahan pengganti hutan yang dipakai untuk pembangunan proyek kereta cepat,’’ tambahnya.

Tinggalkan Balasan