Iuran JHT Resahkan Pengusaha

[tie_list type=”minus”]Persentase Terlalu Besar, Bisa Bikin Gulung Tikar[/tie_list]

JAKARTA – Keputusan Presiden Jokowi menyetujui revisi aturan jaminan hari tua (JHT) tidak berarti membuat polemik tentang iuran berakhir. Jika para buruh puas karena tuntutan tentang syarat waktu pengambilan JHT harus berumur 56 tahun dihapus, para pengusaha kini menuntut ada perubahan juga di besar iuran.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menyatakan, pihaknya memaklumi keluhan pekerja yang mempermasalahkan kriteria pencairan dana JHT yang terlalu kaku. Memang, JHT lebih bersifat ke arah titipan dari para pekerja untuk digunakan saat tak lagi produktif bekerja. Karena itu, pemerintah memang tak seharusnya menahan apa yang menjadi hak pekerja.

Cash flow pekerja kan berbeda-beda. Ada yang harus membiayai anak sekolah atau membayar utang. Meskipun hakikatnya ini adalah jaminan kita masih punya kekuatan finansial di hari tua,” terang Hariyadi di Jakarta kemarin.

Terkait rencana revisi, penerus taipan keluarga Sahid itu mengaku tak menolak. Namun, dia menuturkan, sikap lunak pemerintah tak boleh keterlaluan sampai-sampai menuruti semua tuntutan buruh. Misalnya tuntutan Gerakan Buruh Indonesia (GBI) terkait iuran pensiun agar bisa mencapai 8 persen. ”Sebelum ketentuan iuran diubah, kami jujur sempat bersitegang dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan saat penentuan besaran iuran. Kalau 8 persen bisa bubar semua industri di Indonesia,” jelasnya.

Hariyadi mengungkapkan, saat ini pengusaha harus membayar iuran 10,5 hingga 11 persen dari gaji pekerja untuk berbagai manfaat dan jaminan pekerja. Angka tersebut harus dibayarkan di luar hak gaji pekerja. Jika pemerintah menetapkan 8 persen, beban iuran pun pasti menembus 15 persen di luar hak gaji pekerja. Angka itu diakui bakal membuat banyak pengusaha gulung tikar.

”Kami bahkan menghitung bahwa iuran pensiun 1,5 persen sudah cukup. Hanya, Kementerian Keuangan akhirnya menambahkan bonus demografi sehingga jadi 3 persen. Meski tak ideal, kami juga harus terima,” ujarnya.

Belum lagi, lanjut Hariyadi, wacana iuran tabungan perumahan rakyat (tapera) muncul. Dia mengatakan, pihak pengusaha sudah khawatir iuran tersebut kembali membebani perusahaan. ”Kalau pemerintah mewajibkan pekerja menabung, silakan. Tapi, kalau ternyata mengeluarkan iuran lagi, kami akan menolak keras,” tandasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan