Esensi RAPBN 2026 Dalam Lanskap Kemandirian Ekonomi

RAPBN 2026
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan terkait RAPB dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/aa.
0 Komentar

Kombinasi antara defisit rendah dan strategi penerimaan yang hati-hati ini diharapkan dapat menjaga kepercayaan investor, menstabilkan pasar keuangan, sekaligus menjaga daya beli masyarakat secara berkesinambungan.

Tangguh dan Mandiri

Gambaran RAPBN 2026 secara keseluruhan menunjukkan bahwa APBN tidak sekadar instrumen fiskal, melainkan juga sebagai alat untuk mewujudkan ekonomi yang tangguh dan mandiri.

Dengan menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan, pemerintah menegaskan bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kualitas hidup masyarakat.

Baca Juga:BULOG Jabar Siap Serap Gabah Beras Petani LokalPerkuat Artificial Intelligence (AI) di Indonesia, Telkom bersama IBM Kokohkan Kemitraan Strategis

Namun, keberhasilan RAPBN 2026 akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi, antara belanja sosial dan belanja modal, serta antara ambisi pertumbuhan dan kehati-hatian fiskal. Jika keseimbangan ini tercapai, RAPBN 2026 bisa menjadi pijakan penting menuju Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera.

Selanjutnya RAPBN 2026 juga memberikan harapan sekaligus tantangan.

Di satu sisi, ia memperlihatkan keberpihakan pada pembangunan manusia, khususnya generasi muda melalui program gizi dan kesehatan. Di sisi lain, pemerintah menunjukkan disiplin dengan menjaga defisit di bawah 3 persen PDB tanpa menambah pajak baru. Namun, struktur belanja yang semakin condong ke arah kurang produktif menimbulkan risiko jangka panjang, sehingga strategi rebalancing menjadi keniscayaan.

Dengan menjaga keseimbangan antara investasi SDM, stabilitas fiskal, dan penguatan belanja produktif, RAPBN 2026 diharapkan dapat benar-benar menjadi instrumen strategis untuk membangun bangsa yang tangguh, mandiri, dan sejahtera.

Meski arah kebijakan terlihat progresif, RAPBN 2026 tetap menyimpan tantangan struktural. Salah satunya adalah menurunnya porsi belanja modal yang kini hanya sekitar 8,74 persen dari total belanja pusat. Padahal, belanja modal mencakup pembangunan infrastruktur dasar berupa jalan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan jangka panjang.

Di sisi lain, belanja bunga utang meningkat hingga 19,11 persen, sementara pos belanja lain-lain membengkak menjadi 15,59 persen. Keduanya tergolong belanja yang kurang produktif karena tidak langsung mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika tren ini terus berlanjut, maka ruang belanja untuk pembangunan produktif akan semakin menyempit.

Oleh karena itu, diperlukan strategi rebalancing fiskal pada tahun-tahun berikutnya. Rebalancing berarti mengatur ulang proporsi belanja agar tidak terlalu berat ke pembayaran kewajiban dan belanja konsumtif, tetapi lebih banyak diarahkan kembali ke investasi produktif.

0 Komentar