Penurunan belanja modal ini mengandung risiko strategis. Dalam jangka pendek, pemerintah memang dapat menyalurkan lebih banyak anggaran ke belanja sosial, subsidi, maupun program gizi. Namun, dalam jangka panjang, lemahnya investasi infrastruktur akan menghambat produktivitas nasional dan membuat daya saing Indonesia stagnan. Padahal, infrastruktur adalah enabler utama untuk menurunkan biaya logistik, meningkatkan konektivitas wilayah, dan memperkuat kapasitas produksi.
Sementara itu, belanja bunga utang justru melonjak hingga mencapai 19,11 persen dari total belanja pusat. Kondisi ini menegaskan bahwa sebagian besar ruang fiskal habis untuk membayar kewajiban masa lalu.
Dengan kata lain, APBN semakin “terikat” pada beban utang, sehingga fleksibilitas belanja untuk program pembangunan berkurang. Fenomena ini juga merefleksikan kecenderungan meningkatnya kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan utang, yang jika tidak diimbangi dengan penerimaan negara yang kuat, akan mempersempit ruang gerak fiskal di tahun-tahun mendatang.
Baca Juga:BULOG Jabar Siap Serap Gabah Beras Petani LokalPerkuat Artificial Intelligence (AI) di Indonesia, Telkom bersama IBM Kokohkan Kemitraan Strategis
Selain itu, pos belanja lain-lain ikut membengkak hingga 15,59 persen. Kategori ini kerap dinilai problematis karena sifatnya yang tidak terlalu transparan, mencakup pengeluaran yang tidak terklasifikasi secara rinci.
Kenaikan ini memang memberi ruang fleksibilitas fiskal, tapi di sisi lain menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran. Tanpa pengawasan ketat, pos ini berpotensi menjadi titik lemah dalam tata kelola fiskal.
Jika ditarik garis besar, arah RAPBN 2026, memperlihatkan pergeseran struktur belanja dari produktif ke arah yang kurang produktif. Porsi untuk pembangunan infrastruktur menurun, sementara beban utang dan pos belanja yang kurang jelas justru meningkat.
Jika tren ini berlanjut, APBN dikhawatirkan kehilangan peran strategisnya sebagai akselerator pembangunan jangka panjang.
Sedangkan dari aspek penerimaan negara, pemerintah mengambil langkah hati-hati yang antara lain tercermin dengan tidak ada pajak baru yang akan dikenalkan pada 2026.
Kebijakan ini tentu positif dari sisi menjaga iklim usaha dan konsumsi masyarakat. Namun, strategi tersebut membuat pemerintah harus mengandalkan ekstensifikasi pajak, peningkatan kepatuhan, serta optimalisasi penerimaan dari sumber daya alam. Dengan demikian, keberhasilan reformasi perpajakan dimulai dari digitalisasi melalui Coretax, integrasi NIK dan NPWP, hingga penguatan basis pajak sektor ekonomi baru yang akan sangat mempengaruhi ruang fiskal 2026.
