JABAR EKSPRES – LAGU Darah Juang terdengar di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (8/5) malam. Para buruh perempuan membentuk lingkaran, menyanyikan liriknya dengan penuh semangat. Di hadapan mereka, spanduk bergambar wajah Marsinah, dihiasi deretan lilin kecil yang menyala.
Marsinah, buruh perempuan yang tewas pada 1993 di Nganjuk, Jawa Timur, hari itu kembali dikenang. Koordinator Federasi Persatuan Perjuangan Buruh (FPPB) Cimahi, Siti Eni (50), menyebut, sudah 32 tahun berlalu, namun kasus pembunuhannya belum terungkap.
Eni menduga, kematian Marsinah berkaitan dengan aksi protes buruh yang dilakukannya sebelum ia ditemukan tewas. “Kasus Marsinah belum diusut tuntas,” ujar Siti kepada awak media di sela-sela aksi.
BACA JUGA: Setoran Dividen BUMN Dialihkan ke Danantara, Kemenkeu Putar Otak Cari Penerimaan Lain
Menurutnya, semangat perlawanan seperti yang ditunjukkan Marsinah kini makin jarang terlihat. “Semangat Marsinah luar biasa, tapi jarang ditemukan Marsinah-Marsinah baru,” kata dia.


Namun, mereka tak ingin menyerah. “Tugas kita adalah mencetak Marsinah baru, berlipat ganda,” lanjutnya.
Selain mengenang Marsinah, Eni juga menyinggung kondisi terkini buruh di Bandung Raya. Menurutnya, banyak hak buruh, terutama buruh perempuan, yang belum terpenuhi. Hak cuti haid masih sulit didapat, apalagi bagi buruh kontrak yang tidak berani bersuara karena takut diberangus.
“Ketika buruh kontrak mendirikan serikat, mereka akan diberangus, mereka diupah di bawah UMK,” ujarnya.
Ia juga bercerita mengenai kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak di beberapa daerah. Sebagian buruh hanya mendapat separuh haknya ketika di-PHK dengan dalih perusahaan merugi. “Ada yang di Garut terkena PHK massal karena perusahaan dipailitkan,” kata dia.
BACA JUGA: Rasa yang Mengikat Kenangan: Ibis Bandung Pasteur Luncurkan Signature Menu Bertema Kuliner Nusantara
Selain itu, Eni mengkritik berbagai kebijakan pemerintah seperti Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurutnya, peraturan itu merugikan buruh karena menghilangkan acuan kebutuhan hidup layak.