JAKARTA – Anggota Bawaslu Puadi menyoroti adanya potensi politik transaksional saat kampanye Pemilu dan Pemilihan 2024. Salah satu penyebabnya adalah pola kampanye yang lebih mengarah kepada pencitraan ketokohan individu.
“Hal tersebut menjadi potensi munculnya politik transaksional, seperti suap politik atau politik uang yang selalu terjadi dalam penyelenggaraan pemilu,” ucap Puadi dalam Diskusi dengan tema Alat Kerja Pengawasan Kampanye di Jakarta, Jumat (09/12).
Koordinator divisi penanganan pelanggaran, data dan informasi menambahkan, orientasi ketokohan ini memiliki pengaruh terhadap pola pembiayaan kampanye, yang cenderung mengandalkan sumber pembiayaan dari individu ketimbang dari organisasi pengusung atau partai politik.
“Dalam praktiknya, apa yang dicatat dan dilaporkan sebagai sumbangan dana kampanye oleh peserta pemilu tidak mencerminkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan oleh peserta pemilu,” katanya.
Sementara itu, sambung Puadi, peranan akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU untuk mengaudit dana kampanye, melakukan audit hanya sebatas pada dana sumbangan yang dilaporkan oleh peserta pemilu, tetapi tidak menjangkau pada kegiatan atau pengeluaran riil yang dilakukan
“Dana siluman tidak terdeteksi. Jumlahnya tidak seimbang dengan data yang dilaporkan oleh peserta pemilu. Ke depan Bawaslu akan merancang kerangka pengawasan terhadap persoalan tersebut,” tegasnya.
Menurutnya Puadi, peserta pemilu harus utamakan ide dan program saat melakukan kampanye pada Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Sebab, pada pemilu sebelumnya, kampanye lebih mengarah kepada pencitraan ketokohan individu.
“Saya harap pada pemilu dan pemilihan ke depan ada perubahan pola kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu,” terangnya. (*)