Stigma Negatif Narapidana Pejabat Publik untuk Mendapatkan Hak Politik

BANDUNG – Pembebasan 23 Narapidana  Pejabat Publik dan pemerintahan masih menjadi perbicangan hangat oleg seluruh kalangan.

Stigma negatif kepada narpidana pejabat publik itu mulai muncul manakala, sebagian dari mereka inging terjun kembali ke dalam dunia politik.

Menyikapi hal ini dalam Forum Group Dikusi (FGD) yang diselenggarakan Forum Bayangkara Indonesia mengupas tuntas terkait narapidana pejabat publik ini.

Praktisi Hukum Aang Sirojul Munir,  mengatakan,  prilaku korupsi sudah seharusnya dihindari oleh para pejabat publik. Sebab, hal ini akan memiliki konsekwensi berurusan dengan hukum. Namun tidak semua tipikor tersebut terkena pasal menyebabkan kerugian negara.

‘’Untuk itu edukasi penanganan korupsi terkait unsur suap dan gratifikasi perlu dilakukan agar tidak menjadi alat framing lawan politik,’’ ujar  Aang.

Untuk itu, jika pasal ini disamaratakan untuk semua terpidana tipikor maka terjadi over kriminalisasi yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Menurutnya, Jika ada pejabat publik pernah terjerat tipikor namun tidak dicabut hak politiknya dan tidak terkena pasal merugikan keuangan negara maka tetap terbuka ruang pengabdian menjadi pejabat publik baik legislatif,eksekutif BUMN ataupun BUMD.

‘’Ini asal sesuai kompetensinya dan dinilai  mampu untuk jabatan tersebut,’’ cetus Aang.

Lebih Lanju Aang menyampaikan mengenai anggapan bahwa Gratifikasi dan Koruspsi itu tidak sama.

Korupsi adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Sedangkan Gratifikasi adalah  pemberian suatu barang atau uang kepada pejabat publik.

Dalam Pasal yang diberi penjelasan itu adalah Pasal gratifikasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 juncto UU No. 20/2001, yang menyatakan “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.

Gratifikasi itu berawal dari kata grats dalam bahasa inggris yang berarti terimakasih, maka sebetulnya gratifikasi adalah bentuk kriminalisasi.

Kriminalisasi artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Hal ini karena sebelumnya gratifikasi ini bukan suatu tindak pidana melainkan kebiasaan masyarakat kita untuk berterimakasih dengan memberikan sesuatu yang berbentuk materil” ujar Aang.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan