Puting Jantan

 

Johannes Kitono

Sepak bola adalah permainan yang banyak penggemarnya didunia terlebih lebih di Indonesia. Misalnya, kalau Persebaya main di Jakarta boneknya konvoi naik bus atau KA berbondong bondong menuju ibukota. Memang peraturan sepakbola sangat sederhana. Untuk menang, cukup masukkan saja bola ke gawang lawan. Boleh dari seluruh badan dari kaki sampai kepala kecuali dengan tangan. Nah, ketika menonton pertandingan baik langsung dilapangan maupun via TV. Penonton suka gemes, penasaran dan terkadang marah marah. Kok begitu saja tidak bisa goal, terlebih lebih tendangan saat penalti. Umumnya penonton apalagi yang waktu kecil atau mudanya pernah bermain sepakbola “merasa bisa” dan gampang mainnya. Pada hal kalau disuruh ikut main dan turun kelapangan mungkin bisa mati berdiri. Dengan adanya kasus ” Polisi tembak mati polisi dirumah jendral polisi” yang belum terungkap, mass media dan medsospun jadi ramai. Penuh dengan berita, baik single atau multi image yang mencoba menggiring opini ke pembaca. Seperti penonton sepakbola, semuanya merasa bisa main, pendapat, strategi dan investigasi merekalah yang paling mendekati kebenaran. Seyogyanya, biarkanlah polisi melakukan Scientific Crime Incestigation. Jangan di campur adukkan dengan Jelangkung atau News Crime Investigation yang tentu akan semakin membingungkan.

 

Mirza Mirwan

Yang sampai sekarang membuat saya tak kunjung paham adalah jumlah ajudan perwira tinggi Polri. Irjen Ferdi Sambo, misalnya, semasih aktif sebagai Kadiv Propam terlihat berfoto bersama 8 ajudan. Konon malah jumlah seluruhnya 13 orang. Itu baru jenderal bintang dua. Kalau, misalnya, yang bintang tiga mungkin lebih banyak lagi. Apalagi yang bintang empat, Kapolri. Lah, kalau demikian halnya, berapa ratus polisi — di Mabes Polri saja — yang tugasnya hanya menjadi ajudan? Yang tidak masuk nalar saya juga ini: lebih tinggi mana sih hirarki antara ajudan yang mengawal jenderal dan ajudan yang ditugaskan menjadi isteri jenderal? Menurut logika awam saya, tentu saja lebih tinggi ajudan yang mengawal jenderal. Lah, mengapa dalam kasus Irjen Ferdi Sambo kok seorang bharada (tamtama dengan tanda pangkat satu balok merah) menjadi pengawal sang jenderal, sementara seorang brigadir (bintara dengan tanda pangkat tiga mata panah berwarna perak) hanya menjadi sopir isteri jenderal? Bukankah itu terbalik? Ataukah para ajudan itu mau ditugaskan sebagai apa, suka-suka sang jendera? Menurut logika awam saya, harusnya ada aturan baku dan tertulis. Sayangnya, seorang AKP (kawan SMA si Sulung) yang saya tanya bilang tidak tahu. “Saya juga tidak paham, Pak,” jawabnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan