SETARA Minta Polisi Hentikan Kasus Kriminalisasi Petani Kampar

JAKARTA – Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos meminta Polri menyetop kasus kriminalisasi terhadap petani anggota Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) di Kampar, Riau.

Tigor menilai penghentian kasus kriminalisasi petani itu menjadi batu uji implementasi visi Presisi Polri yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

“Menghentikan kriminalisasi atas ketua Koperasi dan dua orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri,” kata Tigor dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/10).

Menurut dia, kasus kriminalisasi ketua Kopsa-M dan dua orang petani sawit di Polres Kampar itu sebagai bentuk tidak dijalankannya visi Polri Presisi dan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemberantasan mafia tanah.

Aktivis yang akrab disapa dengan panggilan Choky itu menyebut para petani Kopsa-M itu sedang memperjuangkan hak-hak 997 petani atas tanah yang diduga dirampas oleh perusahaan swasta.

Selain itu, mereka juga ingin terlepas dari jeratan utang Rp 150 miliar akibat kredit pembukaan kebun yang dikelola oknum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V secara tidak akuntabel di masa lalu.

Polres Kampar Telah Abai

Di sisi lain, Choky menilai Polres Kampar telah abai atas perusahaan swasta di wilayah hukumnya yang beroperasi tanpa izin. Dia menyebut PT Langgam Harmuni yang diduga merampas 390 hektare lahan petani berlokasi di pinggir kota dan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Mapolda Riau.

Namun, katanya, jajaran Polda Riau dan Polres Kampar membiarkan perusahaan ini beroperasi selama lebih dari 15 tahun. Tanpa izin usaha perkebunan sehingga telah menghilangkan potensi pajak dan pendapatan negara.

“Perusahaan perkebunan tanpa izin tersebut juga merupakan tindak pidana umum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 47 (1) dan Pasal 105 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Yang seharusnya bisa ditindak tanpa aduan,” kata Choky.

Berdasarkan data yang diperoleh Choky, PT Langgam Harmuni baru mengurus izin lingkungan pada September 2021. Pengesahannya sempat tertunda akibat penolakan masyarakat lantaran status lahan kebun yang tidak klir.

Choky mengatakan dengan tidak adanya izin usaha perkebunan itu, patut diduga keras ada masalah di lahan tersebut yang terus coba dihilangkan dan ditutupi dengan berjalannya waktu (buying time).

Tinggalkan Balasan