Indonesia Tak Mungkin Seperti Myanmar

JAKARTA – Dinamika politik di Indonesia diyakini tidak akan seperti Myanmar. Keyakinan itu muncul berdasarkan beberapa hal, salah satunya demokrasi di Indonesia berjalan sangat baik.

Senin dini hari, 1 Februari, pasukan militer Myanmar menahan pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh di partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa. Militer mengambil alih kendali negara. Kudeta terjadi setelah ketegangan meningkat antara pemerintah sipil Suu Kyi dan militer terkait sengketa hasil pemilihan umum.

Sejak 2011, Myanmar bergerak menuju pemerintahan demokratis, setelah sebelumnya berada di bawah rezim militer. Aung San Suu Kyi menjadi tokoh demokrasi di negara itu.

Pada 2015, Suu Kyi dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) terpilih memimpin negara melalui proses pemungutan suara. 1 Februari, Suu Kyi seharusnya melanjutkan masa jabatan periode kedua. Namun, militer mengambil alih pemerintahan dengan tuduhan adanya kecurangan dalam pemungutan suara.

Praktik penggulingan kekuasaan juga pernah terjadi di Indonesia. Tapi itu sudah cukup lama, puluhan tahun lalu. Pengamat politik Adi Prayitno dan Ujang Komarudin yakin kudeta, termasuk seperti sekarang di Myanmar, tidak akan terjadi lagi di Indonesia.

“Tak mungkin ada kudeta militer. Di Indonesia demokrasinya sudah terkonsolidasi. Elite, pers, dan civil society kuat,” kata Adi Prayitno kepada wartawan, Selasa (2/2/2021).

Menurut Adi, Indonesia tidak punya sejarah kudeta militer. Namun tetap perlu antisipasi. Tentara atau aparat harus dijauhkan dari urusan politik. Biarkan mereka bekerja secara profesional, mengurus keamanan dan ketertiban sosial. “Tak usah digoda ke politik,” ujar Adi.

Adi mengatakan ada hal lebih penting yang harus negara ini pikirkan, yakni krisis kesehatan dan ekonomi. “Semua pihak mesti solid, jaga sikap, stop pertikaian,” tegasnya.

Ujang Komarudin juga mengatakan di Indonesia tidak ada tradisi kudeta militer. “Jika melihat kondisi politik saat ini, kudeta militer di Indonesia tak akan terjadi. Karena TNI masih loyal terhadap presiden,” kata Ujang.

Namun, segala kemungkinan harus tetap diantisipasi. Menurut dia, Presiden Joko Widodo, perlu memilih sosok yang loyal dan dekat untuk posisi panglima TNI.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan