BANDUNG – Angka pertumbuhan perekonomian di Provisi Jawa Barat salah satu pertumbuhan paling tinggi di Indonesia. Pada 2018, provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia memiliki angka pertumbuhan mencapai 5,64 persen. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan 2017 sebesar 5,35 persen.
Akan tetapi, membaiknya pertumbuhan itu tidak berbandinglurus dengan jumlah angka kemiskinan. Bahkan tidak berdampak pada penurunan.
Wakil Direktur Analisis Data dan Pemetaan Kemiskinan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Widaryanto mengatakan, kesejahteraan warga di Jabar sejauh ini belum merata. Artinya tingkat ketimpangan masih ada.
Berdasarkan data yang dihimpun Bappenas, Jawa Barat sebetulnya mengalami penurunan kemiskinan yang drastis dalam 10 tahun terakhir. Bahkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDRB) per kapita sama dengan laju pertumbuhan nasional.
’’Akan tetapi di periode sama, ketimpangan meningkat dan stagnan tinggi. Ketimpangan ini juga dicerminkan dalam pertumbuhan pengeluaran penduduknya yang sangat berbeda antara 10 persen termiskin dan 10 persen terkaya,’’kata Widaryanto.
Dia menuturkan, perolehan dari pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan masyarakat midle class ke atas. Sedangkan mereka yang bawah tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan sejauh ini dari data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin di Jabar mencapai 3.399.160 jiwa per 2019.
”Memang angka ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 3.615.790 jiwa,’’ kata dia.
Masyarakat di pedesaan masih mendominasi masuk dalam kategori miskin dengan jumlah sekitar 9,79 persen. Artinya dari 100 orang di pedesaan ada 9 orang miskisn. Sedangkan di perkotaan presentasenya mencapai sekitar 6,03 persen, atau enam dari 100 orang.
”Jelas karena masyarakat pedesan bekerja di sektor yang penghasilannya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bekerja di perkotaan,” papar Widaryanto.
Menurut Widaryanto, kemiskinan di Indonesia termasuk di Jabar sebenarnya telah sampai kepada masyarakat yang memang terbilang sangat miskin. Artinya mereka bisa disebut dengan warga berpendapatan paling rendah.
“Kalau dibilang ini keraknya kemiskinan. Jadi memang tidak mudah menghilangkannya butuh upaya keras,” kata dia.
Meski demikian, bukan berarti pemangkasan warga miskin tersebut mustahil. Sebab, dari data Bappenas beberapa aspek yang harus disamaratakan pemanfaatannya adalah harus terfokus kepada pembukaan lapangan kerja, perbaikan kebutuhan air bersih, sanitasi, akses ke fasilitas kesehatan, dan pemenuhan pendidikan hingga tingkat SMA.