Dedikasi Djariman ’’Ki Ledjar’’ Soebroto Pada Wayang Kancil

Karyanya Dikoleksi Museum di Eropa

Selain rutin diundang ke banyak negara di berbagai benua, Ki Ledjar jadi guru bagi banyak warga asing yang berminat pada wayang kancil. Si cucu penerusnya pun kini mulai dikenal di Jepang.

TRI MUJOKO BAYUAJI, Jogjakarta

KALAU kebetulan ke Bremen, Amsterdam, atau Vancouver dan jalan-jalan ke museum setempat, berbanggalah ketika bertemu wayang berbentuk kancil, kerbau, buaya, atau harimau. Sebab, ada tangan dari Indonesia yang gigih membuat dan memainkannya hingga mengundang ketertarikan dari mancanegara.

Dialah Djariman Soebroto alias Ki Ledjar. Dimulai pada 1980-an, puluhan tahun dia bersiteguh di apa yang kemudian dikenal sebagai wayang kancil. Padahal, di kancah perwayangan, ini termasuk ’’jalan yang sepi’’.

Minim respons dari lingkungan sekitar. Otomatis pula minim tanggapan. Tapi, kegigihan Ki Ledjar akhirnya membuahkan beragam apresiasi dari banyak negara di berbagai benua.

Baru dua bulan lalu pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 20 Mei 1938, itu balik dari Inggris. Memenuhi undangan dari sebuah pusat studi kebudayaan, didampingi cucunya, Ananto Wicaksono. ’’Saya lupa nama tempatnya. Yang pasti, lokasinya indah sekali,’’ ungkap Ki Ledjar.

Perbincangan dengan Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) pada pertengahan Agustus lalu di kediamannya tak jauh dari Malioboro, Jogjakarta, itu banyak terhenti karena Ki Ledjar belum fit betul. Tiga hari sebelumnya, dia terserang sakit.

’’Ngapunten, ini agak terganggu karena batuk,’’ katanya.

Tapi, penurunan kondisi itu sama sekali tak memudarkan gairahnya saat bertutur tentang wayang kancil. Pilihan hidup yang justru diawali keresahan terhadap minimnya ketertarikan anak-anak dan remaja terhadap wayang.

’’Masyarakat kan dulu kalau ada acara terus wayangan. Ini kok sudah nggak ada, sebabnya kenapa,’’ ujar Ki Ledjar.

Pertautan intensif dengan wayang dimulainya dengan nyantrik kepada sang guru, dalang legendaris Ki Nartosabdo. Sejak 1954, Ki Ledjar menjadi penyungging gebingan wayang.

Dia bertugas menyematkan aksesori pakaian wayang orang. Misalnya, praba, irah-irahan, dan sabuk. Bahkan, julukan Ledjar juga berasal dari sang guru yang tutup usia pada 1985 itu.

’’Selama Ki Nartosabdo mendalang, saya selalu ikut,’’ kata Ki Ledjar.

Tinggalkan Balasan