Dedikasi Djariman ’’Ki Ledjar’’ Soebroto Pada Wayang Kancil

Semasa di Belanda, Ki Ledjar pernah menyempatkan diri mengunjungi Museum Nusantara di Delft. Di tempat tersebut, koleksi-koleksi benda bersejarah asal Indonesia disimpan.

Di sana, Ki Ledjar mendapati sebuah buku yang khusus bercerita kisah dan filosofi si kancil. Buku itu ditulis dengan aksara Jawa, tapi dengan sampul berbahasa Belanda.

’’Buku ini saya fotokopi dari Belanda karena tidak ada di Indonesia,’’ ujar Ki Ledjar sembari menunjukkan buku yang dimaksud.

Buku kancil itu berisi tembang macapat atau lantunan pesan-pesan filosofis dalam budaya Jawa. Biasanya dibacakan saat warga berkumpul dalam acara keluarga.

Konon, buku itu ada sejak zaman persebaran Islam oleh Sunan Giri. ’’Konon katanya juga sudah ada wayang kancil. Makanya saya kembangkan lagi,’’ tegas Ki Ledjar.

Buah kegigihannya memopulerkan wayang kancil di berbagai negara, karya Ki Ledjar pun banyak dikoleksi. Baik oleh institusi maupun pribadi.

Di antaranya, Ubersee Museum di Bremen serta Arno Mozoni-Fresconi di Hamburg, Jerman, dan Volkenkundig Museum Gerardus Van der Leeuw di Groningen, Belanda.

Ada pula yang tersimpan di V.M. Clara Van Groenendael di Amsterdam, Museum Tropen di Amsterdam, dan Museum Kantjil di Leiden. Semua museum itu di Belanda.

Di AS, wayang kancil tersimpan di The Shadow Theater of Java di New York. Sedangkan di Kanada ada di Museum of Anthropology, Vancouver.

Selain itu, ada beberapa warga negara asing yang langsung belajar ndalang wayang kancil kepada Ki Ledjar. Salah satunya Sarah Bilby.

Akademisi asal Australia itu datang ke Jogjakarta untuk belajar wayang purwa. Dia akhirnya tertarik pada wayang kancil karena dianggap banyak mengajarkan budi pekerti dan pengenalan lingkungan.

Bilby lantas menjadikan wayang kancil sebagai bahan tesis. Karya akademisnya itu kemudian dibukukan dengan tajuk Wayang Kancil: Perceptions of Tradition and Identity in Contemporary Javanese Shadow Play. ’’Sekarang dia jadi dalang wayang kancil di negaranya,’’ ungkap Ki Ledjar.

Semua apresiasi itu, meski lebih banyak datang dari luar Indonesia, membuat Ki Ledjar lega karena wayang masih akan tetap hidup. Apalagi dia juga sudah menemukan pengganti: si cucu, Ananto Wicaksono.

Tinggalkan Balasan