Demi Menebus Dosa Masa Lalu

”Dulu awal kami mulai, di Bangsring kawasan konservasi terumbu karang hanya 1,5 hektare yang terumbu karangnya paling rusak. Sekarang area konservasinya 15 hektare,” katanya.

KNSB juga menawarkan berbagai fasilitas bagi nelayan yang mau bergabung menyelamatkan lingkungan. Di antaranya, membantu pengurusan izin penangkapan ikan. Kemudian, memproteksi para nelayan dari potensi pungli oleh sejumlah oknum.

Ikhwan dkk juga membuat program marine education di sekolah-sekolah. ”Kami urunan untuk beli alat tulis, permen, atau yang lain untuk menarik minat para siswa,” ujarnya.

Dalam beberapa tahun, kondisi kawasan terumbu karang semakin sehat. Ikan-ikan mulai berdatangan kembali. Bahkan, ikan langka seperti rhinopias yang per ekornya bisa dihargai Rp 500 ribu-Rp 1 juta dan angelfish muncul.

Begitu pula ikan badut atau yang sering disebut ikan nemo. Mereka bermunculan sepanjang waktu setelah hanya muncul di waktu tertentu.

Pendapatan dari pariwisata juga diputar terus. Dalam dua tahun, omzetnya membengkak. ”Omzet kami rata-rata per bulan Rp 500 juta,” tuturnya.

Pernah pula tembus Rp 800 juta sebulan. Pendapatan itu diperoleh dari berbagai fasilitas, termasuk homestay, kuliner, peralatan snorkeling, dan sejumlah potensi lain.

Dari sana biaya untuk konservasi diambil. Bahkan, para peneliti yang datang tidak perlu keluar biaya sedikit pun. Seluruh akomodasi ditanggung Samudera Bakti. Selama ada bukti rekomendasi penelitian atau magang dari kampus.

Yang paling gembira dari semua itu tentu saja nelayan. Ikan yang melimpah membuat pendapatan mereka meningkat hingga enam kali lipat bila dibandingkan dengan saat masih menggunakan potasium. Per hari kini mereka bisa mengirim 10 ribu ikan hias ke berbagai kota di tanah air. Belum lagi untuk memenuhi pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa.

Sebagian kecil nelayan di Bangsring kini juga beralih profesi menjadi snorkeling guide. Sebagian lagi membuka usaha memanfaatkan ramainya potensi wisata.

Keberhasilan itu membuat Ikhwan dilirik banyak daerah lain. Dia diundang ke berbagai daerah untuk berbagi pengalaman. Mulai Wakatobi hingga Manokwari. Daerah-daerah tersebut rata-rata sudah memiliki program konservasi. Tapi, sifatnya top down alias ber­asal dari pemerintah atau swasta. Hampir tidak ada yang berbasis masyarakat.

Tinggalkan Balasan