Memotret Sepak Bola Indonesia dengan Frame Jenaka

Suami May, 43, perempuan berdarah Betawi-Padang, itu mengaku sudah lama jatuh cinta pada sepak bola, jauh sebelum mengenal Indonesia. Yaitu saat usianya baru delapan tahun. Ayahnya yang seorang perwira militer aktif memiliki kebiasaan berada di atas tribun menyoraki tim kebanggaannya, Watford. Itu menjadi pintu gerbang Sutton untuk gandrung dunia bola. Tapi, meski sama-sama suka bola dan berada di atas tribun, Sutton ternyata jatuh cinta pada Arsenal, bukan Watford.

Bahkan, sejak dia masih di bangku sekolah dasar, majalah, koran, serta buku-buku tentang perkembangan Arsenal sudah menjadi bacaan wajib setiap pulang sekolah. Saat ini, di antara total koleksi 700 judul buku yang dia miliki, sebagian besar bercerita tentang perjalanan dan masa kejayaan The Gunners -julukan Arsenal- atau para legenda yang pernah ada di dalamnya.

Selain Arsenal, rata-rata koleksi buku yang dimiliki Sutton beraroma politik dan sejarah perjuangan sejumlah tokoh hebat dunia. Buku tentang Nelson Mandela, Soekarno, sampai Barack Obama tersusun rapi di lemari buku di rumahnya. Sutton menyebutkan, kesukaannya membaca kisah para tokoh dari luar Inggris tersebut tidak lepas dari pengalaman hidupnya yang lebih banyak dihabiskan di perantauan.

Memang, anak ketiga di antara empat bersaudara itu lahir di Tripoli, Libya, pada 1965, ketika ayahnya bertugas sebagai penjaga perdamaian di sana. Namun, saat dia berusia dua tahun, keluarganya pindah ke Belgia. Kemudian ke Jerman sebelum kembali ke Inggris. Setelah masa remaja, Sutton memutuskan tinggal di Australia bersama salah seorang saudara.

Pengalamannya tentang budaya dan kehidupan negara lain semakin kaya setelah lelaki yang berprofesi pengajar itu mendapat tugas di Thailand, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Kazakhstan, serta Kuwait. ”Jadi, kalau saya bilang Indonesia adalah negara yang terbaik, jangan diragukan lagi. Karena saya sudah pernah tinggal di banyak negara,” tegas dia.

Nah, kecintaannya pada sepak bola yang sudah tumbuh dari kecil itu kembali subur setelah tinggal di Indonesia sejak 2002. Stadion yang selalu penuh sesak suporter setiap Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, atau PSS Sleman bertanding menjadi magnet utama yang membuat dia larut dalam sepak bola tanah air.

Tinggalkan Balasan