Ditulis Markas Tentara, Ternyata Kantor Koran

Perpaduan antara literasi yang rendah dan akses ke media sosial yang tinggi menimbulkan dampak yang luar biasa. Orang dengan beragam latar belakang profesi ikut menyebarkan berita hoax. Di sisi lain, upaya untuk mengklarifikasi sangat rendah. Apa pun berita yang didapat langsung dibagikan (share) ke orang lain.

Parahnya, orang-orang di dunia nyata yang memiliki kompetensi jempolan ternyata ikut-ikutan menyebarkan berita bohong. Hal itu dipicu kecenderungan masyarakat Indonesia yang ingin menjadi nomor satu. Termasuk dalam hal penyebaran informasi. Tanpa mengklarifikasi kabar yang diterima tersebut benar atau bohong.

Motivasinya beragam. Ada yang memang bertujuan menebar kebencian. Ada juga yang ingin mengeruk keuntungan finansial. ”Yang terakhir biasanya orang yang paham dunia iklan di internet,” ucap lulusan Program Magister Universitas Teknik Muenchen (TUM), Jerman, itu.

Ada jasa iklan internet yang membayar USD 1 (setara Rp 13.500) per seribu klik. Jika dalam sehari website yang memuat berita hoax dikunjungi 500 ribu kali, dia (si pembuat berita) bisa mendapatkan USD 500 (Rp 6,6 juta). Angka yang menggiurkan.

Septiaji dkk menggalang kampanye anti-hoax. Juga mengklarifikasi berita bohong di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Dengan puluhan relawan, mereka bisa mengecek linimasa (timeline) atau dinding Facebook yang memuat berita bohong. Kemudian dengan segera mengklarifikasi, lalu menyebar informasi yang sesungguhnya.

”Tantangan yang kita hadapi sekarang bagaimana membendung berita hoax yang tersebar di WhatsApp (WA),” katanya. Jumlah grup WA di Indonesia sangat banyak. Satu berita hoax bisa dengan cepat menyebar dari satu grup WA ke grup lainnya.

Langkah pemerintah memblokir website penyebar berita hoax sudah tepat. Tetapi harus dibarengi upaya transparansi. Sehingga tidak menimbulkan kesan pemerintah justru membungkam atau mengekang hak demokrasi masyarakat.

Bahaya dari arus hoax yang terus menerpa media sosial dan grup-grup aplikasi messenger juga dirasakan putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Anita Hayatunnufus. Perempuan yang akrab disapa Anita Wahid itu akhirnya tergerak masuk ke lingkaran MAFI, bahkan menjadi duta anti-hoax.

Anita punya pengalaman dengan kabar bohong. ”Teman saya bertengkar dengan rekan sekantor hanya karena mereka memilih calon presiden berbeda. Mereka beradu argumen dengan dasar artikel hoax,” ungkapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan