Mahasiswanya Level CEO, Lulus Diminta Sharing

”Banyak perusahaan yang sifatnya kiss and run. Sekali membantu, setelah itu selesai. Tidak menciptakan kemandirian masyarakat, tidak efisien, bahkan tanpa sadar justru menciptakan mentalitas meminta,” papar Nita.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia mulai berupaya menerapkan CSR pada periode 2000-an. Persisnya sejak dikeluarkannya pasal 74 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan setiap perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan. UU tersebut, antara lain, dipicu kejadian lumpur Lapindo di Sidoarjo pada 2006.

Begitu pula dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No 4 Tahun 2007 yang menetapkan bahwa laba perusahaan harus disisihkan sebesar 4 persen. Perinciannya, 2 persen persen untuk program kemitraan dan 2 persen lainnya untuk program bina lingkungan.

Berdasar riset bertahun-tahun yang dilakukan, Nita menemukan fenomena bahwa dana yang dialokasikan perusahaan untuk CSR sangat besar, mencapai miliaran rupiah. Bahkan, salah satu BUMN besar menyiapkan dana CSR Rp 400 miliar per tahun.

”Tapi, kebanyakan terbuang sia-sia. Orang miskin di Indonesia tetap saja begitu banyak. Padahal, kalau CSR dilakukan dengan tepat dan holistis (menyeluruh), kemiskinan bisa dihilangkan,” urai perempuan berkacamata itu.

Persoalannya, perusahaan di Indonesia yang melakukan CSR secara holistis, sebut Nita, masih bisa dihitung dengan jari. Dia mencontohkan salah satu perusahaan consumer goods besar yang menerapkan CSR dari hulu ke hilir.

Mulai pembinaan para petani pemasok bahan, teknologi daur ulang sumber daya air dalam proses produksi, hingga bekas ke­masan diolah kembali menjadi produk baru yang fungsional dengan melibatkan ibu rumah tangga di beberapa kota.

Sayang, kembali lagi, belum banyak yang seperti itu. Karena itu, Nita terus gigih berupaya mengubah paradigma masyarakat dan perusahaan mengenai CSR. Sebab, dampak akhirnya bakal bisa dirasakan masyarakat luas.

”CSR bukanlah cara mendistribusikan keuntungan, tetapi justru cara untuk menghasilkan keuntungan. CSR merupakan investasi jangka panjang,” ungkap dia.

Di program S-2 CSR Universitas Trisakti, kurikulum disusun mengacu pada International Organization for Standardization (ISO) 26000 tentang social responsibility yang sudah disepakati 162 negara. Lalu, dipadukan dengan riset-riset yang dia lakukan serta hasil diskusi dengan para profesor dari berbagai negara. Yang digunakan adalah model kurikulum practical academic.

Tinggalkan Balasan