Di beberapa kampus lain di Indonesia, CSR sebatas diberikan sebagai mata kuliah. Belum ada perguruan tinggi yang menjadikannya sebagai program studi dan secara holistis mempelajari CSR.
Hingga kini, program S-2 MM-CSR di Universitas Trisakti tersebut tercatat telah melahirkan 150 alumnus. Oktober mendatang, perkuliahan untuk angkatan ke-16 dimulai.
Perkuliahan berlangsung setiap Jumat dan Sabtu. Mayoritas mahasiswa S-2 MM-CSR merupakan level manajerial seperti CEO, komisaris, atau pemilik perusahaan. Sebab, CSR memang berada pada strategic level.
Nita menyebut beberapa nama mahasiswa yang menduduki posisi stratagis di perusahaan masing-masing. Yakni, Amalia Yunita, CEO (chief executive officer) Arus Liar, operator arung jeram yang sudah 20 tahun berkibar di Indonesia. Ada pula Manajer Chevron Corry Triwardani dan Corporate Communication Freeport Sari Esayanti.
Selain mereka, banyak pula dari kalangan pegiat LSM (lembaga swadaya masyarakat), entrepreneur, maupun media yang menjadi mahasiswa S-2 CSR. Setelah menyelesaikan program selama dua tahun, para alumnus diminta sharing dengan mahasiswa yang sedang menempuh perkuliahan. ”Mereka sharing sebagai praktisi,” kata Nita.
Ramida Siringoringo, mahasiswa MM-CSR Universitas Trisakti angkatan 9, mengaku banyak menyerap ilmu yang bermanfaat dalam perbaikan program CSR di lingkungan kerjanya. ”Desain CSR di sana (perusahaan tempat dia dulu bekerja semasa kuliah S-2, Red) sebenarnya sudah cukup baik. Tapi, ketika saya sudah belajar di MM-CSR, saya dapat ilmu lebih, yakni bagaimana melakukan penilaian awal, monitoring, serta evaluasi. Perubahan itu yang saya bawa ke perusahaan,” kata perempuan yang pernah berkarir di PBB tersebut. Selanjutnya, ketika berpindah ke perusahaan pemrosesan kakao sebagai sustainability manager, Ramida kembali mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dengan merapikan sistem, perencanaan, dan monitoring CSR. Buntutnya, perusahannya mendapatkan label UTZ certified (standardisasi kualitas produksi dan pengolahan untuk kopi, kakao, dan teh).
CSR di Indonesia yang nilainya tidak kecil itu memang sering dipahami secara salah. CSR identik dengan bakti sosial atau pemberian donasi. CSR tidak menjadi kebijakan strategis perusahaan, seolah hanya menjadi kebijakan residu, yaitu alokasi sisa laba.