Kutu Loncat, Ganggu Kaderisasi Partai

BANDUNG – Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang diwarnai dengan pindahnya sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari partai lamanya ke partai baru sebagai Calon Legislatif (Caleg). Meski demikian, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018, menerangkan tidak diwajibkan anggota dewan tersebut mundur dari DPRD jika tidak di PAW (Pengganti Antar Waktu) oleh partai lamanya.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Komunikasi Politik, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Adiyana Slamet mengatakan seharusnya, anggota dewan yang ingin maju kembali namun pindah partai politik seyogyanya mengundurkan diri dari keanggotaannya sebagai anggota dewan.

”Harusnya seperti itu (mengundurkan diri), harusnya punya jiwa negarawan, punya nilai etika dalam politik, sopan santun harus tetap dijaga,” ucapnya kemarin (19/7).

Adiyana mengungkapkan, para anggota dewan yang berpindah partai politik juga disebutnya merusak mekanisme partai dan akan berdampak pada konflik di internal partai politik.

”Kalau istilah tahun 2000 inilah orang-orang indekos di parpol atau kutu loncat, sehingga akan merusak ritme internal partai yang kemudian efeknya akan konflik internal gesekan antar kader didalam,” ungkapnya.

Selanjutnya, Adiyana menambahkan ada mekanisme partai yang rusak akibat perpindahan parpol para anggota dewan yang maju kembali dalam pileg 2019.

Kader-kader militan partai yang sejak dahulu mengikuti proses kaderisasi partai politik untuk maju sebagai calon legislatif, dengan mudahnya tergeser oleh orang-orang atau anggota dewan yang ingin maju kembali dalam pileg 2019 dengan partai yang berbeda.

”Pada proses itu kader yang lama membangun parpol itu ditempatkan pada no urut besar, sedangkan yang berpindah partai itu no urut 1 atau 2 dan 3, sebenarnya hal ini menjadi citra buruk bagi mekanisme partai itu sendiri,” pungkasnya. (nie/ign)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan