Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Pendidikan karakter kembali menjadi isu strategis di Jawa Barat. Di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi-akrab disapa Kang Dedi-program Gapura Panca Waluya diluncurkan sebagai respons terhadap krisis moral, meningkatnya kenakalan remaja, serta menguatnya gaya hidup instan dan konsumtif di kalangan pelajar.
Panca Waluya mengusung lima nilai utama: cageur (sehat), bageur (bermoral), bener (jujur), pinter (cerdas), dan singer (terampil). Lima pilar ini bersumber dari filosofi hidup masyarakat Sunda dan kini dikemas menjadi kerangka pembinaan karakter di dunia pendidikan.
Dalam pidatonya saat Hardiknas, 2 Mei 2025, Kang Dedi menyebut bahwa pendidikan tidak boleh semata mengejar nilai akademik, tetapi harus memanusiakan manusia. “Sekolah itu jangan hanya mencetak angka, tapi mencetak akhlak,” tegasnya kala itu.
Baca Juga:Nongkrong Hemat di Pakansari, Gayo Sosis Internasional 08 SolusinyaAncam Kelangsungan Sekolah Swasta! FKSS Tolak Rencana Penambahan Rombel Negeri di Jabar
Secara konseptual, gagasan ini sejalan dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menekankan pentingnya membangun cipta, rasa, dan karsa—bukan sekadar logika. Hal serupa juga ditegaskan oleh Thomas Lickona, tokoh pendidikan dari Amerika Serikat, yang menyebut bahwa pendidikan karakter adalah “usaha sadar untuk membantu seseorang menjadi orang baik” (Lickona, Educating for Character, 1991). Dalam konteks Jawa Barat, Panca Waluya adalah pengejawantahan lokal dari konsep universal tersebut.
Barak Militer dan Transformasi Pendidikan
Salah satu bagian paling mencolok dari program ini adalah apelatihan karakter dalam model barak militer. Sejak awal Juni 2025, program ini memasuki gelombang kedua, dengan lebih dari 70 pelajar dari berbagai kota dan kabupaten dikirim ke Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Cikole, Bandung Barat.
Mereka berasal dari latar belakang pelanggaran kedisiplinan, perundungan, hingga kenakalan remaja. Pada 21 Juni 2025, Kang Dedi hadir langsung ke lokasi pelatihan. Ia berdialog dengan siswa, mengecek fasilitas, dan menyampaikan motivasi. Dalam keterangannya kepada media, ia menyebutkan bahwa pendekatan ini bukan bentuk hukuman, melainkan ruang pemulihan dan pembentukan karakter.
“Kita ingin anak-anak ini kembali menjadi manusia utuh yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya,” katanya seperti dikutip dari Jabar Ekspres (22/6/2025).
Rangkaian kegiatan yang dijalani para peserta di barak termasuk salat berjamaah, senam pagi, pelatihan fisik, diskusi nilai, hingga sesi pendampingan psikologis. Pendekatan ini sesuai dengan konsep restorative discipline dalam psikologi pendidikan: memulihkan hubungan dan membangun kesadaran, bukan hanya menjatuhkan hukuman.
