JABAR EKSPRES – Anggota DPRD Kota Bogor, Dedi Mulyono, mengambil langkah tegas dalam menyikapi maraknya praktik judi online (Judol) yang menjangkiti berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi muda.
Ia menyebut sedang menyusun usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) baru yang lebih komprehensif untuk menangani masalah judi online di Kota Bogor.
“Perlu ada instrumen hukum yang lebih kuat dan relevan dengan zaman. Perda lama belum menyentuh dimensi digital, padahal saat ini perputaran uang judi online di Bogor sudah sangat mengkhawatirkan,” kata Dedi Mulyono dikutip Kamis (8/5).
Diketahui, Perda Kota Bogor Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Permainan Judi masih menjadi regulasi utama dalam menangani perjudian di wilayah Kota Hujan.
Dalam Perda tersebut, ditetapkan bahwa segala bentuk permainan judi dilarang dan pelanggar dapat dikenakan sanksi kurungan paling lama enam bulan atau denda maksimal Rp50 juta.
Namun, menurut Dedi, regulasi ini sudah tidak cukup untuk menjawab tantangan zaman.
“Perda 2005 itu belum menyentuh judi online. Dulu belum ada smartphone dan situs-situs taruhan seperti sekarang. Modus judi juga makin canggih, bahkan melibatkan media sosial dan aplikasi chatting,” ungkapnya.
Dedi menegaskan, bahwa kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan. Sebab, berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kota Bogor menempati peringkat kedua tertinggi di Indonesia dalam hal perputaran uang judi online, dengan nilai transaksi mencapai Rp612 miliar sepanjang tahun 2023.
Sementara Kecamatan Bogor Selatan menjadi titik paling rawan dengan jumlah pelaku mencapai 3.720 orang dan nilai transaksi mencapai Rp349 miliar.
“Data ini jadi alarm bahaya. Kita tidak bisa lagi anggap remeh. Jika tidak ada intervensi serius, generasi muda kita bisa rusak masa depannya,” tegas dia.
Melihat fenomena ini, Dedi mengusulkan agar Raperda yang akan diajukan mencakup tiga aspek utama yakni pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi.
Baginya, penanganan judol tidak cukup hanya dengan memblokir situs atau menindak pelaku, tetapi juga perlu edukasi sejak dini dan pendampingan bagi korban maupun keluarga terdampak.
“Anak-anak muda butuh literasi digital yang kuat, sekolah perlu kurikulum anti-judol, dan keluarga korban harus mendapat perlindungan. Jangan hanya pelaku yang disorot, tapi juga aspek sosialnya,” dorong Dedi.