JABAR EKSPRES – Industri perfilman Indonesia akan kembali semarak dengan hadirnya film lokal berjudul Gowok: Kamasutra Jawa, yang dijadwalkan tayang pada 5 Juni 2025.
Film ini merupakan hasil kolaborasi antara rumah produksi MVP Pictures dan Dapur Films. Sebagai bagian dari rangkaian promosinya, film ini telah menjalani pemutaran perdana di ajang 54th International Film Festival Rotterdam pada 2 Februari 2025.
Mengambil latar masa penjajahan Belanda di Indonesia, film ini digarap oleh sutradara senior Hanung Bramantyo, yang juga turut menulis naskah bersama Aci.
Sesuai dengan judul dan temanya, Gowok: Kamasutra Jawa akan mendapat klasifikasi usia D (Dewasa) karena memuat sejumlah adegan eksplisit yang berkaitan dengan seksualitas dan kekerasan.
Sinopsis Film Gowok Kamasutra Jawa
Berlatar di Jawa pada periode 1955 hingga 1965, film Gowok mengisahkan perjalanan seorang perempuan yang menjadi gowok—pendidik seksual dalam tradisi Jawa—dan memendam dendam terhadap mantan kekasihnya.
BACA JUGA: Gundik Jadi Film Terbaru Luna Maya dan Maxime Bouttier, Sinopsisnya Bikin Penasaran
Dalam upaya balas dendam, ia merancang untuk menggoda putra dari pria tersebut selama masa pelatihan seksual pranikah, yang merupakan bagian dari kebiasaan budaya saat itu. Tokoh utama, Ratri, adalah perempuan cantik yang tumbuh dari luka masa lalu ibunya, dan dididik menjadi gowok oleh Nyai Santi.
Namun, kisah cintanya berakhir dengan pengkhianatan. Dua puluh tahun berselang, ia dipertemukan kembali dengan pria masa lalunya, yang kini membawa anak laki-lakinya untuk belajar kepada Nyai Santi. Di persimpangan antara luka lama dan cinta yang belum padam, Ratri dihadapkan pada pilihan: mengampuni atau membalas dendam.
Film ini juga menjadi momen kembalinya aktris Lola Amaria ke dunia seni peran setelah absen selama 11 tahun dari industri hiburan Indonesia. Meski judulnya mengandung kata “Kamasutra”, sutradara Hanung Bramantyo menegaskan bahwa film ini tidak menampilkan adegan seksual eksplisit.
Fokus utamanya justru pada nilai budaya dan aspek edukatif dari tradisi seksual dalam masyarakat Jawa, serta konflik emosional antar tokohnya. Hanung menyatakan bahwa cerita film ini terinspirasi dari Serat Centhini, karya sastra klasik Jawa yang membahas pendidikan seksual dan kehidupan rumah tangga.