Jabar Ekspres – Pengurus Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PW SEMMI) Jawa Barat, menyoroti perubahan Peraturan Daerah (Perda) kawasan lindung Karst Citatah di Kabupaten Bandung Barat (KBB), yang terancam rusak.
Pasalnya, dalam Peraturan Daerah (Perda) KBB Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) status kawasan lindung Karst tersebut tidak tercantum secara eksplisit.
Melihat kondisi itu, PW SEMMI Jabar, khawatir kehilangan status kawasan lindung Karst Citatah. Sebab, tidak menutup kemungkinan, kawasan tersebut lebih leluasa untuk dieksploitasi sehingga mengalami kerusakan yang lebih parah.
“Kami melihat adanya indikasi kuat bahwa penghilangan status lindung Karst Citatah merupakan bentuk regulatory capture, di mana kebijakan publik justru dibentuk untuk melayani kepentingan korporasi, bukan masyarakat,” kata Ketua PW SEMMI Jabar Septian saat dikonfirmasi, Rabu, 22 April 2025.
Menurutnya, perubahan Perda tersebut berpotensi sebagai ajang kepentingan korporasi melalui bentuk manipulasi sistem tata ruang yang sarat kepentingan.
Apalagi kata dia, kasus yang harus menjadi perhatian serius pemerintah yakni, aktivitas PT Bumi Adya Indonesia di Kecamatan Cipatat. Perusahaan ini diketahui beroperasi di wilayah yang sebelumnya masuk dalam kawasan lindung geologi versi Perda RTRW Nomor 2/2012.
Nahasnya, setelah terbitnya Perda RTRW Nomor 2/2024, kawasan tersebut tidak lagi berstatus kawasan lindung secara eksplisit, kekhawatiran terbukanya celah legalisasi aktivitas industri dan wisata berbasis eksploitasi.
Dibeberkan Septian, PT Bumi Adya Indonesia tercatat pernah dijatuhi sanksi administratif oleh Pemerintahan Daerah (Pemda) KBB melalui Keputusan Bupati Nomor 188.45/Kep.262-DPUTR/2022.
Keputusan tersebut menyatakan, perusahaan tersebut melanggar izin bangunan yang tidak sesuai peruntukannya, melanggar Pasal 195 PP No. 21 Tahun 202 dengan nilai sanksi mencapai Rp2,5 miliar. Akan tetapi bukan berupa denda ke kas daerah, melainkan dalam bentuk rehabilitasi infrastruktur publik seperti kantor kecamatan, puskesmas, posyandu, dan jalan kabupaten.
“Model sanksi seperti ini rawan disalahartikan sebagai bentuk kompromi terhadap pelanggaran tata ruang dan lingkungan. Ini bukan penegakan hukum, tapi kompensasi eksploitatif yang justru mengaburkan batas antara pelanggaran dan legalisasi,” ungkapnya.
Model sanksi demikian, dia menjelaskan, tidak hanya cacat etis tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Perubahan status kawasan lindung dalam RTRW, jika terbukti bertujuan memberi ruang legal bagi PT Bumi Adya Indonesia tentunya menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang.