JABAR EKSPRES – Nakba, atau dikenal juga sebagai Malapetaka Palestina, merupakan sebuah peristiwa penganiayaan, penghancuran, dan pengusiran orang Arab Palestina pada tahun 1948. Baik di Tepi Barat, Jalur Gaza, maupun tempat-tempat pengungsian Palestina di seluruh wilayah itu.
Warga Palestina telah mengalami pengusiran dari rumahnya sendiri dan kehilangan tanah air selama 69 tahun lamanya. Satu hari sebelum Hari Nakba, 15 Mei 1948, lahir negara Israel. Ironisnya, lahirnya negara tersebut menyebabkan ratusan ribu warga Palestina diusir secara paksa dari rumahnya sendiri, demi membangun sebuah negara mayoritas ‘Yahudi’, sebagai tujuan dari rencana gerakan Zionis.
Antara tahun 1947 dan 1949, setidaknya 750.000 warga Palestina, dari total 1,9 juta populasi, terpaksa menjadi pengungsi. Pasukan Zionis telah merampas lebih dari 78 persen wilayah bersejarah Palestina, membersihkan etnis dan menghancurkan sekitar 530 desa dan kota, serta membunuh sekitar 15.000 orang Palestina dalam serangkaian kekejaman massal, termasuk lebih dari 70 pembantaian.
Meskipun pada tanggal 15 Mei 1946 menjadi hari resmi peringatan Nakba, kelompok Zionis bersenjata sudah melangsungkan pengusiran terhadap Palestina lebih awal. Bahkan, pada tanggal 15 Mei itu, setengah dari jumlah pengungsi Palestina sudah diusir secara paksa dari negara mereka sendiri.
BACA JUGA: Israel Berencana Hancurkan Gaza untuk Proyek Kanal Ben Gurion?
Lalu, apa yang menyebabkan terjadinya Nakba?
Akar dari peristiwa Nakba tumbuh dari kemunculan ideologi politik ‘Zionisme’ di akhir abad ke-19 Eropa Timur. Ideologi tersebut didasarkan pada kepercayaan bahwa kaum Yahudi adalah sebuah bangsa atau ras yang pantas memiliki negaranya sendiri.
Dari tahun 1882 ke depan, ribuan kaum Yahudi dari Eropa Timur dan Rusia mulai tinggal di Palestina, didorong oleh penganiayaan anti-Semit dan pogrom yang mereka hadapi di Kekaisaran Rusia dan daya tarik Zionisme.
Pada tahun 1896, jurnalis asal Wina, Theodor Herzl, menerbitkan sebuah informasi yang dipandang sebagai idelogis untuk Zionisme politik ‘Der Judenstaat’ atau ‘Negara Yahudi’. Herzl menyimpulkan, bahwa solusi dari sentimen dan serangan anti-Semit yang berlangsung selama berabad-abad di Eropa adalah dengan mendirikan sebuah negara Yahudi.
Meskipun beberapa perintis gerakan itu pada awalnya mendukung negara Yahudi di tempat-tempat seperti Uganda dan Argentina, mereka akhirnya menyerukan untuk membangun sebuah negara di Palestina berdasarkan konsep Alkitab, bahwa Tanah Suci dijanjikan oleh Tuhan kepada orang-orang Yahudi, atau biasa disebut ‘Eretz Yisrael’.