Isu Kekerasan dan Perlindungan Anak Jadi Perhatian Desa Tenjolaya Bandung

“Sampai sekarang masih berlangsung, bahkan sudah terwadahi. Jadi ibu-ibu PKK yang terus diberikan pembekalan menjadi wadah untuk mendorong isu perlindungan anak,” terangnya.

BACA JUGA: Bunda Literasi Soroti Keadaan Anak Masa Kini di Kabupaten Sumedang

Melansir dari situs savethechildren.or.id, aksi peduli terhadap anak di Indonesia, Save The Children telah beroperasi sejak 1976 lalu.

Pada tahun 2004, Save The Children termasuk yang pertama turun dalam tanggap darurat tsunami Aceh. Program tanggap darurat ini berjalan lima tahun dan menjadi yang terbesar dalam sejarah mereka.

Kemudian pada 2014 lalu, Save the Children di Indonesia memulai transisi menjadi entitas lokal dan sekaligus menjadi anggota perhimpunan global Save the Children.

Sedangkan pada tahun 2021 lalu, Yayasan Sayangi Tunas Cilik sebagai entitas lokal Save the Children Indonesia resmi berubah menjadi Yayasan Save the Children Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. AHU-0001042.AH.01.05 TAHUN 2021.

Upaya ini dinilai menjadi langkah strategis organisasi agar kebermanfaatan Save the Children di Indonesia lebih luas dan berkesinambungan untuk anak-anak Indonesia.

“Saya mengimbau kepada warga supaya bisa menjadikan isu perlindungan anak ini menjadi perhatian. Jangan sampai ada timbul kekerasan apalagi pelecehan terhadap anak di Desa Tenjolaya,” ujarnya.

“Sebagai ummat Islam, perlu mengedepankan akhlak dan keimanan, agar kita bisa tetap menjaga dan terhindar dari tindakan yang merugikan anak,” tukas Ema.

Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Gender dan Anak Unpad, Antik Bintari menyampaikan, di era modernisasi sekarang banyak ditemukan kekerasan terhadap anak, bukan sekadar karena meningkatnya kesadaran diri masyarakat.

“Tapi memang saluran-saluran yang menjadi alat untuk melaporkan sudah tersedia banyak sekarang,” bebernya.

Antik mengungkapkan, jika melihat 10 sampai 15 tahun ke belakang, ketika masyarakat mengetahui adanya kasus kekerasan anak, masih tergolong susah untuk mencari unit pelaksana teknis dinas perlindungan anak.

“Susah mencari pelaksana teknis yang melakukan penanganan, tidak ada satgas di sekolah atau universitas. Lembaga-lembaga yang siap mendampingi advokasi juga masih susah ditemui,” ungkapnya.

Antik menuturkan, dengan beragamnya mekanisme untuk melakukan pelaporan bagi korban maupun saksi kekerasan terhadap anak, kondisi saat ini dinilai memudahkan masyarakat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan