Pembubaran Festival LGBT di Georgia, Atribut dan Bendera LGBT Dibakar Warga

JABAR EKSPRES – Sejumlah sekitar 2.000 orang yang menentang LGBT membubarkan Festival Gay Pride di ibu kota Georgia, Tbilisi, pada hari Sabtu, 8 Juli 2023.

Festival LGBT tersebut dihentikan oleh warga Georgia, yang mengakibatkan bentrok dengan aparat kepolisian.

Massa menghancurkan berbagai atribut festival, termasuk bendera pelangi dan spanduk festival.

Para penyelenggara menuduh pihak berwenang terlibat aktif dengan para demonstran untuk mengganggu kelancaran festival.

Namun, seorang menteri pemerintah menyatakan bahwa situasi tersebut menjadi sulit bagi kepolisian karena acara tersebut diselenggarakan di area terbuka yang berdekatan dengan danau.

BACA JUGA: Rusia Sebut Pembakaran Al-Qur’an di Swedia Merupakan Tindakan Biadab

“Para pengunjuk rasa berhasil menemukan cara untuk memasuki area acara, tetapi kami berhasil mengevakuasi para peserta dan penyelenggara Pride,” kata Alexander Darakhvelidze yang merupakan Wakil Menteri Dalam Negeri.

“Tidak ada yang terluka selama insiden itu dan polisi sekarang mengambil tindakan untuk menstabilkan situasi,” jelasnya.

Direktur Tbilisi Pride mengonfirmasi bahwa semua peserta acara telah dievakuasi ke lokasi yang aman, namun mengkritik kebijakan pihak berwenang terkait keamanan acara Pride.

Menurutnya, acara tersebut telah diadakan selama dua tahun berturut-turut guna mengurangi risiko protes kekerasan serupa.

Mariam Kvaratskhelia menyatakan bahwa kelompok sayap kanan secara terbuka telah menghasut kekerasan terhadap aktivis LGBT+ menjelang acara Pride, namun polisi dan kementerian dalam negeri menolak untuk melakukan penyelidikan.

BACA JUGA: Malaysia Kritik Sikap Barat yang Diskriminatif dalam Konflik Palestina-Israel

“Saya benar-benar berpikir (gangguan) ini adalah tindakan terkoordinasi yang direncanakan sebelumnya antara pemerintah dan kelompok radikal. Kami pikir operasi ini direncanakan untuk menyabot pencalonan Georgia dari Uni Eropa,” katanya.

Presiden Georgia, Salome Zourabichvili, mengkritik pihak kepolisian karena dianggap gagal dalam tugas mereka untuk menjaga hak masyarakat berkumpul dengan aman.

Georgia mendapat kritik dari kelompok hak asasi manusia dan Uni Eropa atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan menuju otoritarianisme.

Setelah protes yang kekerasan pada bulan Maret, undang-undang yang mirip dengan Rusia yang mewajibkan organisasi non-pemerintah yang menerima lebih dari 20 persen dana dari luar negeri untuk mendaftar sebagai agen pengaruh asing dicabut.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan