Guru Sang Pemberantas Kebodohan

Alquran sendiri telah menunjukkan siapa orang bodoh itu. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS An-Nisa ayat 17).

Karena itu, orang yang bodoh adalah orang yang tidak taat dalam menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Siapapun dia baik para pemimpin maupun rakyat kebanyakan terlebih lebih para pendidik, khususnya para guru.

Selama dia melakukan maksiat, maka ia bodoh. Kebodohan tentang akhirat, dan kebodohan tentang surga dan neraka, membuatnya jatuh ke dalam maksiat.

Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 119: “Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya kemudian mereka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Kebodohan tidak terlepas dari upaya menuntut ilmu, menurut Syekh Burhanuddin Ibrahim Az-Zarnuji dijelaskan bahwa seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap ridha Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam.

“Karena Islam itu dapat lestari kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu”.

Beliau  juga menukil perkataan ulama dalam sebuah syair: “Orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan.”

Disaat maraknya perilaku bodoh yang saat ini berkembang ditengah tengah masyarakat, Ironisnya praksis pendidikan dewasa ini telah cenderung kehilangan marwahnya. Fondasi pendidikan adab yang sejatinya berkembang  menjadi landasan berkembangnya pendidikan karakter terkesan terabaikan.

Dalam kasus tertentu, by desain kepentingan politik praktis telah menghalalkan segala cara agar pendidikan kehilangan peran dan fungsi idealnya.

Peran dan fungsi pendidikan bergeser menjadi alat kepentingan politik penguasa melalui penempatan orang yang bukan ahlinya sehingga pembiasaan dan penanaman sifat sifat bodoh, dimulai dari posisi birokrasi yang selanjutnya menjalar pada para tenaga fungsionalnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan