Indro menyayangkan terjadinya panik-jual sapi. Itu sangat merugikan peternak. “Sapi seharga Rp 25 juta dijual di bawah Rp 5 juta,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Peternakan Jatim Aftabuddin juga mengungkapkan itu. Anak Medan lulusan Fakultas Peternakan Universitas Syiah Kuala Aceh itu jadi orang Jatim sejak muda. Sejak menjadi atlet olahraga anggar Jatim ketika provinsi itu jadi tuan rumah PON.
Yang paling disayangkan, penjualan itu biasanya dilakukan pada hari ke-6 setelah sapinya terkena PMK. Yakni ketika sapi itu sudah tidak bisa berdiri dan tidak bisa makan.
“Padahal tunggu dua hari lagi sapinya sembuh,” ujar Indro. Tentu kalau sapi itu tetap diberi makan.
Itulah sebabnya Indro menciptakan bubur sapi. Juga menciptakan salep untuk kaki. Agar sapi tetap dapat asupan vitamin dan gizi. Juga agar luka di kaki bisa sembuh –kuku pun tidak copot. Salep itu juga bisa untuk mulut. Tanpa membahayakan sapinya.
Ada keluhan: cara memaksa sapi tetap makan itu ternyata membuat sapinya kembung. Lalu mati. Indro langsung menjawab: itu karena makanannya tidak dilembutkan. Sistem pencernaan sapi tidak sama dengan manusia. Perut manusia bisa mencerna makanan apa saja. Asam di lambung perut manusia cukup kuat untuk mencerna yang aneh-aneh. Bahkan bisa ”mencerna” aspal dan Jiwasraya.
Asam di lambung perut sapi tidak cukup kuat. Itulah sebabnya sapi disebut binatang memamah biak. Makanan kasar yang masuk perut selalu harus dikembalikan lagi ke mulut. Dikunyah-kunyah lagi. Agar tidak kembung.
“Kembung bisa membunuh sapi lebih cepat dari virus PMK,” ujar Indro. “Satu hari kembung sapi bisa mati,” tambahnya. Kalau sudah kembung seperti itu tidak ada jalan lain. Perut sapi harus ditusuk secara benar. Agar anginnya keluar.
Indro menegaskan lagi: virus PMK tidak membunuh sapi dewasa. Yang mati karena virus umumnya sapi yang berumur kurang 1 bulan. Itu karena belum mampu menumbuhkan sistem kekebalan. Sapi dewasa yang terkena PMK umumnya mati karena tidak bisa makan, kembung dan dipotong lehernya –tidak perlu didor lima kali.