Ada Keanehan dalam Pemilihan Pemenang Lelang di Daerah?

JAKARTA – Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menceritakan pengalaman anehnya terkait pemilihan pemenang lelang tender infrastruktur di daerah yang kalah meski menawar dengan harga terendah.

“Saya dapat pesan ‘whatsapp’ dari salah satu peserta lelang di daerah, dia mengaku menawar harga paling rendah tapi tidak menang lelang,” kata Alexander di Jakarta, Rabu (6/10).

Marwata mengungkapkan alasan dari penilaian panitia pengadaan adalah harga penawaran dianggap tidak wajar karena dia menawar 80 persen di bawah HPS (Harga Perhitungan Sendiri) dan ada 4 perusahaan penawar dengan harga penawaran di bawah 80 persen HPS tapi yang menang di urutan ke-5 yang harganya Rp1,5 miliar lebih mahal dibanding harga terendah.

Hal tersebut disampaikan wakil ketua KPK ini dalam diskusi virtual Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) berjudul “Cegah Korupsi di Pengadaan Jasa Konstruksi”.

“Nilai Rp1,5 miliar tersebut adalah sekitar 15 persen dari HPS atau senilai Rp9 miliar. Padahal berdasarkan pengalaman KPK, proses pengadaan barang dan jasa kerap ada permintaan ‘fee’ 5-15 persen. Saya tidak tahu apakah selisih Rp1,5 miliar itu untuk menanggulangi ‘fee’ 15 persen,” tambah Marwata.

Ia mengaku sudah minta koordinator wilayah (korwil) KPK untuk mendalami kenapa 4 penawaran terendah dianggap tidak wajar oleh panitia.

“Saya sudah tanya kepada penawar ini apakah dengan harga terendah itu sudah untung? Dia jawab ‘Sudah Pak, sudah memperhitungkan keuntungan 15 persen tapi memang tidak menghitung pemberian ‘fee’ ke pejabat, jadi murni keuntungan 15 persen perusahaan sehingga bisa menawar di 80 persen di bawah HPS’,” ungkap Marwata.

Dalam kondisi tersebut, Marwata menilai tidak tertutup kemungkinan ada banyak perusahaan rekanan konstruksi yang menambahkan biaya “fee” 5-15 persen di luar keuntungan yang diperoleh sebagai penawaran lelang.

“Ini fakta-fakta yang sering diungkap KPK saat melakukan penindakan perkara suap di bidang konstruksi,” tambah Marwata.

Menurut dia, kejadian itu mengkhawatirkan karena anggaran pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan infrastruktur berjumlah besar, khususnya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yaitu Rp119 triliun (2019), Rp120 triliun (2020) dan Rp150 (2021) dengan realisasi anggaran rata-rata Rp87 triliun.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan