BANDUNG – Salah satu kendala dalam percepatan penurunan stunting di Indonesia adalah keterbatasan rujukan atau kajian perbandingan dengan negara lain. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo berpendapat, perbandingan dengan negara-negara yang sudah terlebih dahulu sukses menurunkan prevalensi stunting sangat dibutuhkan untuk mengindentifikasi kesamaan metode yang digunakan.
“Secara internasional, sebenarnya WHO memiliki framework dalam penanganan stunting, yang mana menempatkan community dan social factor menjadi semacam basic yang menjadikan faktor-faktor berikutnya itu sangat terpengaruh. Jadi community dan social factor ini sangat mempengaruhi situasi dalam keluarga. Di samping itu, kita perlu melihat studi-studi internasional yang sudah dilakukan,” ungkap hasto dalam webinar “100 Profesor Bicara Stunting” pada Senin, 5 Juli 2021.
Hasto menyebut studi terbaru tentang penurunan stunting di lima negara: Nepal, Etiopia, Peru, Kirgistan, dan Senegal. Mantan Bupati Kulonprogo ini berharap para profesor bisa menjadi pertimbangkan studi-studi yang menunjukkan success story penurunan stunting dalam waktu cukup singkat tersebut.
“Menurut saya lima negara ini bisa menjadi bahan kajian karena menarik sekali. Betapa Peru bisa turun jauh lebih rendah dari 20 persen sebagai standar WHO dalam waktu yang relatif singkat. Tahun 2008 masih mendekati 30 persen, kemudian 2014 sudah di bawah 20 persen. Saya kira contoh Peru contoh luar biasa penurunnaya. Negara-negara lima tadi secara umum mengalami penurunan signifikan dengan berbagai macam cara mereka. Saya berharap sekali nanti bisa diidentifikasi apa-apa yang punya keseragaman dari lima negara ini,” ujar Hasto.
Dari laporan studi tersebut Hasto mengindentifikasi faktor-faktor signifikan yang dilakukan di lima negara tersebut. Peru, Kirgistan, Nepal, dan Etiopia melakukan peningkatan gizi pada ibu dan anak baru lahir (improving maternal nutrition and newborn outcomes). Di sisi lain, Peru, Senegal, Nepal, dan Etiopia juga melakukan peningkatan kualitas lingkungan, seperti kebesihan, air, dan sanitasi (improving living condition).
“Harus kita akui keterbatasan literatur secara statistik yang sama metodenya sangat sedikit. Padahal kita bisa membandingkan dari banyak faktor. Misalnya faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Mohon bisa dilihat juga kemiskinan bisa sangat berpengaruh,” tambah Hasto.