JAKARTA- Politikus PDI Perjuangan, T.B. Hasanuddin menilai tidak ada pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.
Anggota Komisi I DPR RI ini mentatakan, bagaimana para penegak hukum memahami dan menggunakan hati nurani dalam penerapan pasal-pasal UU ITE yang dianggap kontroversial.
Menurut dia, ada dua pasal yang dianggap publik sebagai pasal kontroversial, yaitu Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2).
T.B. Hasanuddin menegaskan bahwa penegak hukum harus memahami betul secara sungguh-sungguh.
“Kalau dicampuradukan antara kritik dan ujaran kebencian, saya rasa hukum di negara ini sudah tidak sehat lagi,” katanya, Selasa (16/2).
Ia mengutarakan bahwa Pasal 27 Ayat (3) adalah pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Diakuinya pasal tersebut sempat menjadi perdebatan.
Namun, dia menegaskan bahwa Pasal 27 tersebut sudah mengacu dan sesuai dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Pasal 27 Ayat (3) ini acuannya KUHP Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dan menista orang lain, baik secara lisan maupun tulisan,” ujarnya.
Dia menyebutkan pula Pasal 28 Ayat (2) tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang berdasarkan pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ia menilai kedua pasal tersebut, yaitu Pasal 27 dan Pasal 28, harus dipahami para penegak hukum agar tidak salah dalam penerapannya.
“Apalagi, Pasal 27 itu sifatnya delik aduan, mereka yang merasa dirugikan dapat melapor dan pelapornya harus yang bersangkutan bukan orang lain,” katanya.
Dalam menerapkan Pasal 27 Ayat (3) harus dibedakan antara kritik terhadap siapa pun dengan ujaran kebencian dan penghinaan.
Hasanuddin menilai penegak hukum harus memahami secara sungguh-sungguh. Masalahnya, kalau dicampuradukan antara kritik dan ujaran kebencian, hukum di negara ini sudah tidak sehat lagi.
Ia juga menggarisbawahi penerapan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE juga harus hati-hati dan selektif karena sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI yang berkarakter Bhinneka Tunggal Ika.
“Multitafsir atau penafsiran berbeda dapat diminimalisasi dengan membuat pedoman tentang penafsiran hukum kedua pasal ini secara komprehensif. Kedua pasal ini pernah dua kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review dan hasilnya tidak ada masalah,” ujarnya.