Politik Uang Kejahatan Demokrasi

JAKARTA – Salah satu wujud penerapan demokrasi adalah adanya penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih pemimpin. Pada Pilkada Serentak 2020 mendatang, pesta demokrasi di 270 daerah diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan jujur. Politik uang adalah kejahatan demokrasi.

KPU sebagai penyelenggara berfungsi melaksanakan semua tahapan pemilihan dari pendaftaran sampai penetapan calon terpilih. Sementara Bawaslu sebagai pengawas, pencegahan, dan penindakan atas pelanggaran.

Akademisi Universitas Islam Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, jika praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilu kerap digunakan. Di Undang-undang Nomor 10Tahun 2016maupun Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 secara tegas menyebutkan, segala bentuk pemberian uang atau materi kepada pemilih yang sifatnya memengaruhi pemilih adalah perbuatan yang dilarang dan dapat dikenai sanksi berupa pidana, denda dan diskualifikasi.

Dampak politik uang dalam pesta demokrasi mampu mengubah pola pikir masyarakat yang awalnya mencari sosok pemimpin yang berkualitas dan berintegritas menjadi hilang. Berganti dengan pola pikir pragmatis yang semata-mata karena nilai ekonomis. “Tentunya, praktik politik uang ini apabila tidak ditangani secara serius berdampak pada semakin tingginya biaya politik. Hal ini juga berakibat para pelaku politik uang itu sendiri. Dimana apabila terpilih, akan mendorong mereka untuk bertindak korupsi,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Rabu (25/9).

Sementara itu, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menyatakan jika praktik politik uang ini harus terus dilawan. Karena menjadi cikal bakal tumbuhnya praktik korupsi. Politik uang adalah perilaku antidemokrasi dan melanggar Undang-undang.

Ia berpesan kepada masyarakat harus membuang jauh-jauh anggapan bahwa politik uang adalah hal lumrah yang biasa terjadi di pesta demokrasi. “Masyarakat harus berani menabuh genderang perang melawan politik uang. Tolak kejahatan demokrasi,” tegas Wahyu.

Dengan menolak, membuktikan rakyat sebagai pemilih dan pemegang kedaulatan tertinggi sadar akan hak konstitusionalnya. “Apabila pemilih telah berdaulat, maka negara akan kuat serta perilaku korupsi bisa diminimalisasi,” pungkasnya. (khf/fin/rh)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan