Toang, Lubang, dan Perempuan

KETIKA kujelaskan padamu, kita berada di Toang, kau tampak bingung. Bahkan tanganmu sempat mengaduk-aduk rambutmu yang tebal mirip buku Kamus Besar Bahasa Indonesia itu berulang kali. Aku terkekeh menyaksikannya. Tergelak melihat wajahmu dan caramu melihatku. Lalu terlihat rona putus asamu, karena istilah yang kukatakan itu tak kautemukan padanannya. Jangankan kau yang bukan orang Indramayu, aku yang terlahir di pantai utara pun, tak jua mendapatkan padanan kata yang sesuai untuk mewakilinya.

Aneh memang kata Toang itu. Dahulu saat aku sekolah dasar, sempat kutanyakan pada guru kelasku sinonim Toang. Katanya, adoh mana adoh mene[1], mirip orang berkelakar jawabannya. Tempat itu biasanya ada warung-warung tempat perempuan-perempuan sundal[2] menerima pesanan cinta dari sopir-sopir truk yang biasa mampir.

“Telembuk[3] Pak?” sahutku meyakinkan.

“Kamu sudah tahu telembuk?” tanya pak Guru berang.

“Ibu saya yang bilang, Pak.”

“Oh, ya?”

“Ketika mereka ribut-ribut, katanya Ayah rela meninggalkan ibu karena perempuan sundal. Terus saya tanya, perempuan sundal itu apa Bu? Telembuk, kata ibu sambil membentakku kesal.”

“Iya, makanya jangan sekali-kali kalian mendekati tempat haram itu,” ucapnya seperti ingin memastikan kalau tempat itu adalah wadah kumpulan orang berdosa.

Aku terdiam. Bukan mengiyakan nasehat beliau, tetapi justru aku ingin lebih tahu banyak tentang tempat itu. Sehingga setiapkali aku melewati tempat itu, yang terlintas di kepalaku adalah kumpulan lelaki dan perempuan yang berhimpun dalam sebuah kandang macam kerbau. Ah, barangkali istilah kumpul kebo itu seperti itu!

Perkara itu pula yang kemudian pernah membuatku menuduh kakek yang tidak-tidak. Pernah pada suatu ketika, kakek datang jauh-jauh dari perbatasan kota. Ia membawa beberapa buah mangga yang cukup masak. Diambilnya buah hasil tanah pesisir itu dari keranjang sepeda lalu diserahkannya padaku.

“Ini Kakek dapatkan dari pohon mangga di Toang,” jelasnya padaku.

“Di toang, Kek? Kakek habis bercinta dengan telembuk itu?”

“Apa kau bilang?”

Hampir saja tangan kakek mendampratku. Untung, ibu dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh segera mencegahnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan