Penyelamatan

Pengurus museum berinisiatif: memilih benda-benda yang tertinggi nilainya. Terutama nilai sejarahnya. Untuk diselamatkan. Dari bom maupun menjarahan Jepang.

Seluruh pegawai museum diminta tidak tidur. Semalam suntuk. Memilah-milih.

Di malam yang lain mereka mengepak. Ada yang menyebut jumlah yang berhasil dipack sampai 600.000 barang.

Malam yang lain lagi benda itu dinaikkan gerobak. Dikeluarkan melalui gerbang Qianmen. Gerbang yang sering saya lewati. Kalau ingin makan bebek Beijing di dekat Qianmen.

Keluar dari gerbang, konvoi gerobak itu belok kiri. Menuju stasiun kereta api. Stasiun Barat. Sekitar 300 meter dari gerbang terluar itu. Yang sampai sekarang wajah depan stasiunnya masih sama. Hanya telah berubah menjadi museum kereta.

Tahun-tahun itu pemerintahan Tiongkok masih dipegang partai nasionalis Koumintang. Dengan tokoh sentralnya Chiang Kai Shek. Tapi sudah sangat rapuh. Kota-kota kecil sudah dikuasai jagoan-jagoan lokal. Politikus yang preman. Atau preman yang politikus. Pedesaan sudah dikuasai Partai Komunis. Dengan tokoh sentralnya Mao Zedong.

Tapi pemerintah nan rapuh itu masih sempat berpikir: menyelamatkan benda bersejarah itu.

Dari Stasiun Barat kereta menempuh jarak yang amat jauh: menuju Shanghai. Untuk ukuran kecepatan kereta waktu itu diperlukan waktu dua hari dua malam.

Ternyata benda bersejarah itu tidak bisa lama di Shanghai. Kota itu juga akan jadi medan perang. Harta museum itu pun diangkut ke kapal. Di pelabuhan Shanghai. Perlu berapa puluh kapal? Angka yang saya peroleh berbeda-beda.

Dengan armada kapal itu harta museum Kugong tersebut dilayarkan ke hulu. Ke arah pedalaman. Ke arah kota Nanjing. Melalui bengawan Changjiang (Yang Tze Kiang). Sungai terpanjang keempat di dunia. Yang jadi pusat lalu-lintas zaman itu.

Di Nanjing pun ternyata tidak aman. Bahkan Jepang menjadikan Nanjing salah satu arena pembantaian terbesar.

Harta museum Kugong itu diangkut ke kapal lagi. Armada itu terus menuju arah hulu. Lebih ke pedalaman lagi. Ke kota Chongqing. Tempat kuliahnya Lufita berjilbab yang dari Kediri itu.

Panjang sekali tulisan ini. Kalau semua perjalanan penyelamatan itu diceritakan. Maka tibalah pada akhirnya: perang kian meluas.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan