Eka Tjipta (2)

Di Surabayalah Eka ber­kembang pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Su­rabaya merambah Indonesia. Tidak pernah bangkrut lagi.

Waktu saya berumur 40 tahun saya bertanya pada Pak Eka: Apakah masih membayangkan bahwa suatu saat akan bang­krut lagi. Untuk kelima kalinya.

”Sekarang sudah tidak mun­gkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk bisa bang­krut,” katanya.

Itu tahun 1992. Diucapkan di Surabaya. Kepada saya.

Saat itu Pak Eka sudah men­jadi orang terkaya kedua di Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik minyak go­rengnya sudah yang terbesar di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di Asia. Bisnis Grup Sinar Mas sudah merambah ke segala arah.

Saya pernah ke Ningbo. Su­dah ada Bank International Ningbo. Miliknya. Saya ke Suzhou. Sudah ada pabrik kertas sangat besar di sana. Saya ke Shanghai. Gedung pencakar langitnya sangat menonjol di pusat kota Shang­hai.

Waktu mengucapkan ”tidak mungkin lagi bangkrut” keli­hatannya Pak Eka tidak mem­bayangkan: bakal terjadi kri­sis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas mencapai sekitar Rp 110 triliun. Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.

Yang menagih pun sampai kesulitan. Untuk berunding pun sulit. Sebanyak 60 bank dan 40 negara harus setuju. Caranya maupun pembagian hasil penagihannya.

Sampai-sampai utang itu distensil. Dibekukan. Ini mem­buat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil penjualannya bisa untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.

Memang Sinar Mas sempat kehilangan Bank International Indonesia. Tapi Pak Eka benar: sudah terlalu besar untuk bisa bangkrut.

Sabtu lalu Pak Eka mening­gal dunia. Meninggalkan se­mua itu. Tapi juga mening­galkan pelajaran bisnis yang luar biasa berharga. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan